Rona Seorang Kakak
Hujan. Lagi-lagi hujan. Akhir mei yang basah. Zana berlari ke halte sambil memayungkan dua telapak tangan ke atas kepala. Zana tahu itu tak akan berarti banyak. Namun ia berharap usaha kecil itu dapat menghalau ancaman pening. Ah, padahal dahulu ia akrab dengan hujan.
Keakrabannya dengan hujan kemudian berjarak oleh suatu hal. Pedih tiba-tiba merangsek di sela ruang dadanya.
Terengah-engah Zana sampai di halte yang telah dipenuhi orang. Kebanyakan pelajar putih-biru seperti dirinya. Sedang sisanya anak SMA, mahasiswa dan lainnya. Zana mengkhawatirkan kesehatannya. Besok ada ulangan Bahasa Inggris, ia tak mau bila sampai bolos.
Segera ia berdesak-desakkan mencari ruang agar terhindar dari tempias hujan. Tubuh rampingnya berkontribusi besar dalam menelusup kerumunan. Ia berhasil berdiri agak di tengah kerumunan. Setidaknya hempasan air hujan tak lagi bisa menjangkaunya.
Bus yang ditunggu Zana tak kunjung tiba. Mungkin terjebak macet oleh curah hujan yang menggenangi jalanan Semarang.
Fakta misterius mencatat hujan memiliki kemampuan menghipnotis manusia untuk me-resonansi ingatan masa lalu. Dan hal itu terjadi pada Zana.
“Kamu pintar, Dik! Bahkan kapalmu jauh lebih rapi dari buatan Kakak,” puji Rendra.
Zana tersipu. Senyumnya merona merah di pipi. Dua bola matanya memandangi bangga kapal kertas buatannya sendiri. Lepas itu kakak-beradik itu membuka jendela kamar. Tempias hujan langsung menyambut wajah keduanya.
Keduanya tertawa-tawa saat kapal kertas dilempar bergantian ke aliran air di bawah jendela. Kapal Rendra terjungkir balik sementara kapal Zana berlayar cukup jauh hingga akhirnya tertambat batu.
Andai Kak Rendra masih seperti dulu. Ah, dia terlampau sibuk dengan kuliah dan pacarnya sekarang. Tak ada waktu lagi buatku. Kalimat-kalimat itu bertubi-tubi merecoki otak Zana.
Tenggorokan Zana seketika memanas. Matanya pedih. Bening kristal membasahi dua bola mata bulatnya. Zana mengeleng-gelengkan kepala tanpa sadar.
“Ada apa, Dik?” tanya seorang pria di samping Zana.
Badannya tinggi tegap. Wajahnya bersih. Tampilannya rapi dengan jaket hitam yang melekati tubuh atletisnya. Zana harus mengangkat wajah untuk melihat wajah pria itu.
“Adik baik-baik saja?” tanya pria itu lagi. Begitu perhatian. Layaknya seorang kakak.
Sebuah bus berhenti. Serta-merta bus itu diserbu. Pria di samping Zana tak ikut naik. Pria itu menoleh ke belakang. Matanya celingukan berburu tempat duduk. Sayang pencariannya sia-sia.
Sebuah bus berhenti lagi. Kali ini pun bukan bus yang Zana tunggu. Ia mendengus kesal. Kaki-kakinya pegal.
“Dik, mari duduk di sana. Sudah ada bangku kosong.”
Beberapa jenak, Zana membisu dengan kepala mendongak. Berikutnya ia mengangguk lalu membuntuti langkah pria yang perhatian bagai seorang kakak.
Dua jengkal di depan bangku. Zana terpaku. Pria itu membersihkan bangku yang basah dengan jaket yang buru-buru dicopotnya. Termasuk bangku untuk Zana. Lantas dengan sunggingan malaikat, pria itu mempersilahkan Zana duduk.
“Terima kasih, Kak,” ujar Zana kaku. “Jaket Kakak jadi basah dan kotor.”
“Tak apa, bisa dicuci, jawab pria itu. Lagi-lagi rona pancaran wajah pria itu laksana seorang kakak.
*
Gontai, langkah kaki Zana menjejaki lantai rumah. Wajahnya cerah. Hatinya bungah. Pertemuannya degan pria berona kakak di halte bus kota adalah sebabnya. Sayangnya ia lupa tak bertukar nomor ponsel. Lebih tepatnya ia tak punya nyali untuk melakukannya.
Zana sudah besar, Ma. Jangan berlebihan memperlakukannya, suara dari ruang tengah menjamah gendang telinga Zana. Seketika cuping kupingnya menebal.
“Ah, kamu tak tahu perasaan seorang ibu, Ren! Terdengar jelas nada kesal pada suara Mama. Apa kamu tak khawatir pada adikmu? Hujan seperti ini pasti susah dapat bis.”
“Dia saja naik taksi, Ma. Lagian cuma hujan air begini.”
Zana terpekur di tempat berdirinya. Seakan ia tak percaya bahwa serentet kata itu keluar dari mulut Kak Rendra.
Tersaruk kaki Zana berlari. Menerobos ruang dan udara. Air matanya menderas. Derak-derak jejak di tangga seolah cerminan emosinya yang bergejolak. Mama dan Rendra masih terkejut dengan kemunculan dan kepergian Zana. Lantas keduanya saling berpandangan dalam tanya.
*
Hari tanpa hujan. Setidaknya hingga sore hampir mampir di cakrawala. Zana duduk menunggu di halte bus kota.
“Aku sudah gila!” gumamnya pelan. Zana mengakui tindakannya adalah bodoh. Mengharap kedatangan pria kemarin yang sekejap memberinya rona kakak.
“Sepertinya kamu sedang galau?” sapa tak terduga itu membuat Zana terlonjak. Wajah muramnya mendadak ceria.
“Maaf, sudah membuatmu kaget.”
Tatap mata Zana menggerayangi wajah di hadapannya. Sepenuhnya ia tak sadar apa yang terjadi padanya. Tiba-tiba air matanya tumpah.
“Jangan menangis. Nanti Semarang bisa banjir lagi.” Pria itu mengangsurkan tisu. Zana menyambutnya tanpa ragu.
“Aku duduk di sini, siap mendengar ceritamu. Anggap aku sahabatmu atau … kakakmu.”
Senyum tipis menyembul di lekung bibir Zana. Kehangatan sikap pria itu tak ubahnya sosok kakak. Seperti seorang adik yang nyaman berkeluh kesah pada kakaknya, Zana tak ragu melakukan hal serupa itu.
“Kakak punya adik? Adik perempuan?” buru Zana, mengacuhkan tanya sebelumnya.
“Ada. Dua orang.”
“Apakah bagi seorang kakak laki-laki, berdekatan dengan adik perempuannya adalah aib, Kak?” Sebutan Kak mengalir begitu saja dari mulut Zana.
“Tentu saja tidak. Memangnya kenapa kamu bisa bertanya seperti itu?”
“Sikap kakakku berbeda sekali sejak dia makin dewasa. Tepatnya setelah ia kuliah dan punya pacar.”
Pria itu tidak bisa menahan senyumnya. “Ceritakan lagi tentang hubunganmu dengan kakakmu agar aku bisa memberi tanggapan.”
“Kami dahulu dekat. Namun kini semua beda. Lebih-lebih sejak kehadiran Sari.”
“Sari?
“Pacar kakakku.”
*
Sari duduk di ruang keluarga. Di sampingnya ada Mama yang menyuguhinya obrolan ringan dan terdengar menyenangkan. Ekor mata Zana menyapu gadis berambut sebahu itu dengan kilat mata cemburu. Gadis itu telah merebut sosok kakak laki-laki darinya. Dan kini gadis itu mengincar mamanya.
“Baru pulang, Dik?” sapa Sari.
Zana tak menggubris. Ia berlalu begitu saja ke kamarnya. Suara mama memanggilnya panik. Ia tak peduli.
Usai berganti baju, Zana memilih ke kebun belakang. Ia sangat terganggu dengan obrolan diselingi tawa yang bergema hingga kamarnya. Zana duduk di sebuah pohon kelapa yang tumbang melintang.
“Sebentar lagi gelap. Lekaslah masuk rumah!” Rendra muncul dengan sapa kaku.
“Tidak mau!”
“Sari sudah pulang.”
“Baguslah….”
Rendra menghela napas lantas dijatuhkannya pantat di samping Zana.
“Maaf, Kakak selama ini tak adil padamu. Sepertinya benar kata teman Kakak bahwa aku belum siap berpacaran. Sebab ada seseorang yang terkorbankan,” ujar Rendra tegas seraya memandang lurus wajah Zana.
“Sari cinta pertama Kakak. Kurasa wajar jika Kakak banyak salah. Maafkan Kakak ya selama ini tak lagi perhatian padamu. Sepenuhnya salah Kakak, Sari tak terlibat.”
Zana tak memberi reaksi. Rendra memutar otaknya.
“Bagaimana kalau kugendong seperti dahulu?”
“Ah, tidak mau,” tukas Zana cair. Rendra sedikit lega.
“Kakak tidak akan menggoyang-goyang pantat,” janji Rendra dengan kerjap mata menggoda. Senyum Zana terbit. Memorinya memutar kenangan silam. Ia selalu kegelian dan berteriak-teriak dalam gendongan tiap Rendra mengoyang-goyangkan pantatnya bak gaya ngebor.
Dan akhirnya … Zana naik ke punggung Rendra. Obrolan cair kakak-beradik selisih umur lima tahun itu bergulir begitu hangat dan lembut.
“Hai, Suf? Belum lama bukan nunggunya?”
Seorang pria dengan tampilan yang Zana kenal, duduk menunggu di ruang tamu.
“Teman Kakak akan menginap di rumah malam ini untuk mengerjakan tugas kelompok. Rendra menjelaskan pada Zana.
Wajah Zana memerah kala rentinanya bertumbuk dengan sosok pria berona kakak yang ditemuinya di halte bis kota. Refleks ia memberontak minta turun dari gendongan Rendra. Rona rasa yang lain tengah menjalari hatinya.#
Nice post. I learn something totally new and challenging on blogs I stumbleupon everyday. Its always useful to read through articles from other authors and use something from other websites.
דירות דיסקרטיות בבאר שבע