Phobia Vebia
Vebia, oleh keluarga dan teman dekat biasa dipanggil Via, sebetulnya seorang gadis yang periang. Hanya saja kepribadiannya memang agak tertutup pada orang yang belum dikenalnya. Ia memiliki interaksi sosial yang terbatas. Pula ia tidak menyukai keramaian. Mungkin itu karena ia bersekolah di boarding school khusus putri. Atau karena ada alasan lain hingga ia berada di sekolah asrama. Entahlah, hanya keluarga dan teman dekatnya saja yang tahu latar belakang dari seorang Via yang misterius.
Di suatu acara temu pengurus OSIS antar sekolah, Via bertemu dengan Juna. Setelah bertukar nomor, mereka jadi kian akrab. Pendar-pendar asmara tampak kentara pada sepasang muda-mudi itu.
“Main kerumahmu?” tanya Via panik. Jumat sore, Juna menjemput Via dari asramanya. Sudah tiga kali jumat Juna melakukannya setelah mendapat izin langsung dari kedua orang tua Via.
“Iya, gantian. Selama sebulan ini aku terus yang main ke rumahmu.”
“Aku … aku….,” ucap Via tergagap.
“Kamu malu? Takut? Buang perasaan itu jauh-jauh, bapak ibuku sangat ingin bertemu denganmu.”
“Memangnya kamu cerita apa ke orangtuamu soal aku?”
“Banyak sih, mulai dari kamu yang cantik, berprestasi di bidang akademik hingga berbagai alat musik yang kamu kuasai.”
“Aku izin mamaku dulu ya,” ucap Via mencari-cari alasan.
“Tadi aku sudah izin ke mama kamu dan beliau mengijinkan. So, tidak ada alasan lagi buat kamu mengelak,” tutup Juna penuh kemenangan. Segera dipacunya motor. Sementara Via hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya.
Sampai di rumah, Via disambut dengan ramah oleh ibunya Juna. Pada awal kedatangannya, Via nampak kikuk. Namun obrolan Via dengan ibunya Juna dapat segera mencairkan suasana. Mereka berdua cepat sekali akrab bagai ibu dan putri kandungnya. Mereka tertawa-tawa bersama membahas foto-foto Juna sewaktu kanak-kanak. Sampai saat ini apa-apa yang ditakutkan oleh Via belum terjadi.
“Tante, Om mana?” tanya Via menanyakan Om Gatot, bapaknya Juna, yang belum kelihatan.
“Oh, Om sedang mandi. Sebentar lagi juga turun,” jelas Tante Wati.
“Bapakku tidak sekedar bernama Gatot saja lho tetapi juga gagah seperti Gatot Kaca,” sela Juna yang ikut nimbrung.
“Gatot Kaca?” tanya via bingung. Dahi Via berkerut saking berpikir keras. Via memang tidak paham dengan tokoh-tokoh pewayangan.
“Lihat nanti saja!” ucap Juna penuh misteri. Juna dan ibunya tersenyum tipis menyembunyikan kejutan manis.
“Via, itu bapakku!” seru Juna sambil menuding bapaknya yang tengah menuruni anak tangga.
Seketika mata Via terbelalak. Keringat dingin menguncur deras dari pori-pori kulitnya. Wajahnya pucat pasi. Senyumnya mendadak hilang diganti ketegangan yang memuncak.
Om Gatot berjalan mendekat pada Via. Sementara Via kian merinding di tempat.
“Tidaaaakkkk! Penculik! Jangan dekati Via!” pekik Via panik lalu pingsan.
Seluruh keluarga Juna panik. Mereka segera memberi pengobatan seadanya dengan minyak angin. Pelan-pelan Via tersadar dan membuka matanya.
“Via, kamu kenapa? Kamu tidak apa-apakan?” tanya Juna yang duduk di lantai cemas. Via mengembangkan senyum tipis di antara bayangan seram yang masih menempel di memorinya.
“Minum teh hangat dulu ya, Via,” Om Gatot mendekat membawakan secangkir teh.
Sekonyong-konyong Via tercengang. Ketakutan menguasai dirinya kembali. Serta merta ia segera menutup kedua mata, berteriak histeris dan menangis.
“Jangan dekati aku! Jangan dekati aku! Aku mau pulang!”
Tante Wati memeluk Via, berusaha untuk menenangkannya. Via berontak dan segera berlari keluar rumah. Juna bingung bukan kepalang. Ia tak tahu mengapa Via bersikap seperti itu. Hatinya kecewa dan sakit, tega-teganya Via menyebut bapaknya sebagai penculik. Sungguh tidak berbudinya gadis itu! Detik itu juga, ia bertekad harus melupakan Via meski rasa sakit menghujamnya.
***
Vebia kecil menunggu mamanya di depan gerbang sekolah. Ia duduk di atas bangku seraya memainkan tumbuhan putri malu yang menyembul di sela bebungaan. Mamanya tadi sudah berpesan bahwa beliau akan sedikit terlambat karena ada kesibukan di butik. Saat jari-jemari mungil Vebia tengah asyik mengusili putri malu, seorang pria paruh baya mendekatinya. Dandanannya cukup rapi dengan jaket hitam, rambut klimis serta kumis tebal menghias di atas bibirnya.
“Adik manis, Om disuruh Mama untuk menjemput Adik,” kata pria itu seraya mengenggam lengan Via.
“Om siapa?”
“Om suruhan Mama, Dik. Ayo ikut, Om,” bujuk pria asing dengan senyum lebar hingga kumis tebalnya yang hitam terangkat menyentuh hidung.
“Enggak mau! Via mau menunggu Mama saja” ujar Via seraya melepas tangan pria asing itu.
Pria itu tampak panik dengan reaksi Via lalu dengan kasar ia meringkus tubuh mungil Via untuk di masukkan ke dalam mobil yang sudah terparkir di depannya.
“Tolong! Tolooong! Teriak Via lantang sebelum tangan kekar si Pria Asing membekap mulutnya.
Via berusaha melepaskan diri dari gendongan pria asing itu dengan memukul-mukulkan tangan kecilnya. Orang-orang serta merta berhamburan datang dari segala arah untuk menolong. Via selamat dari percobaan penculikan namun sayangnya si Penculik berhasil kabur bersama komplotannya.
Sejak peristiwa penculikan itu, Via kecil mengalami trauma hebat. Ia takut sekolah, takut sendirian dan takut dengan orang yang belum dikenalnya. Lebih-lebih, tiap kali berjumpa orang yang berkumis tebal, Via pasti menjerit-jerit ketakutan.
***
“Via tidak bersalah, Jun. Ia begitu karena kondisi psikologisnya.” Juna yang tengah rebahan dengan wajah kusut beringsut ke tepi ranjang. Ia memandangi mata bapaknya yang teduh. Tanpa kemarahan.
Meski begitu Juna masih dilema. Di satu sisi ia ingin memaafkan Via karena ia amat mencintainya tetapi di sisi lain ia masih sangat marah dengan penghinaan Via terhadap bapaknya.
“Via sudah kelewatan, Pak! Juna sendiri sangat tersinggung dengan ucapannya yang keterlaluan itu!”
“Bapak sama sekali tidak tersinggung, Jun. Justru bapak sangat menyanyangkan jika kamu menyimpan dendam seperti ini.”
“Tapi, Pak…..”
“Via sudah menderita dengan phobianya, Jun. Tidak seharusnya kamu menambah deritanya. Jika kamu mencintainya, seharusnya kamu mendampinginya untuk bisa keluar dari cengkraman phobia.”
“Mama Via mengatakan bahwa kejadian kemarin semakin memperburuk trauma Via, Pak. Tampaknya Juna dan Via memang….”
“Bapak akan mencukur kumis!”
“Tapi bagaimana dengan ibu?” tukas Juna. Selama ini Juna tahu bahwa bapaknya tidak mencukur kumis karena ibu yang melarang. Kata ibu, kumis tebal bapak gagah seperti Gatot Kaca.
“Ibu tidak keberatan, Jun. Lagian yang ibu cintai itu bapakmu bukan kumisnya,” ucap ibu yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar. Bapak, ibu dan anak itu kemudian berangkulan.#
Sumber gambar: freepik.com