Nostalgia Rahim
Sesekali Aina mengusap kening yang dibanjiri jentik-jentik bening. Ia tampak tersiksa dalam penantian. Gegas dirogohnya saku tas. Ditulisnya sebuah pesan kepada sopir keluarganya bahwa ia akan naik taksi saja. Ketika pesan itu hendak dikirim, terdengar suara parau yang begitu dikenalnya.
“Maaf, Non, jalanannya macet. Ada perbaikan,” jelas Pak Maman dengan sesal.
Tanpa banyak obrolan lagi, mobil melesat. Membelah jalanan Semarang yang kadang berombak oleh korosi air laut. Tubuh Aina kadang terguncang, memupus kantuk yang sempat hinggap.
“Baru pulang?” sapa Mamanya ketika berpapasan. Mama sedang menerima tamu. Sekilas, Aina melirik pada wanita berumur empat puluh tahunan yang setahunya baru pertama kali datang ke rumah. Aina tak mengenalnya tapi rasanya wanita itu tak asing.
“Iya, Ma. Tadi Aina ke toko buku.”
“Makin giat saja anak Mama ke toko buku. Kamu rupanya sungguh-sungguh ingin jadi penulis?”
“Ah, Mama. Aina hanya coba-coba saja.”
“Sesuatu itu harus dijalani dengan serius sayang jangan hanya asal coba-coba. Mama pikir kamu punya bakat di bidang tulis-menulis. Kamu bisa mengembangkannya,” nasihat Mama bijak. Aina mangut-mangut sambil melirik lagi pada tamu Mama.
*
Aina berdiam di kamarnya dari sore hingga malam merayap. Lima Novel, satu majalah dan satu tabloid cukup untuk mengeramnya. Ia bisa betah berjam-jam tiduran di ranjang dengan buku di tangan.
Berselancar di dunia maya menjadi pelarian Aina setelah matanya terasa pedih. Membuka notebook dengan beberapa langkah, ia tersambung dengan akun Facebook. Pemberitahuan yang memerah pada jejaring berlatar biru segera saja membuat sibuk gerak mouse dalam genggaman tangan.
Ada tujuh permintaan pertemanan. Satu per satu Aina mengkonfirmasi hingga matanya tertuju pada satu nama. Seorang penulis ternama meng-add akunnya. Sesuatu yang tak biasa. Terlebih seorang sahabat mayanya bercerita bahwa akun Facebook penulis itu sudah penuh dan tidak ada akun kedua. Pula, penulis itu tak sembarang menerima pertemanan. Ah, kebetulan sekali. Ia baru saja merampungkan novel dari penulis wanita itu.
“Kak, ditunggu Papa di bawah untuk makan malam,” kata Tania, menyembul di balik pintu. Aina beringsut dari ranjang. Papanya orang yang sangat disiplin. Ia tak mau ambil risiko dengan mengacuhkannya.
“Kudengar kamu gemar menulis?”
“Iya, Pa,” jawab Aina santun seraya menciduk nasi ke piringnya.
“Boleh-boleh saja kamu menulis asal tidak mengganggu pelajaran. Sekolah tetap yang utama. Papa tidak mau nilaimu merosot,” kata Papa terdengar kering.
“Aina kemarin memenangi lomba menulis cerpen, Pa. Hadiahnya lumayan. Uang Tunai satu juta dan piagam. Terus apa lagi Aina? Paket buku ya? Mungkin dalam satu-dua hari ini hadiahnya sampai,” sela Mama dengan nada suara dan rona bangga.
“Bagaimana dengan lomba Fisikamu, Tania?” Papa mengalihkan topik pada Tania yang duduk di sebelahnya persis.
“Ah, ya Tania lolos ke babak berikutnya.”
“Berusahalah. Meski bukan uang tujuan utama, hadiah lima juta bisa memotivasimu untuk lebih giat lagi.” Lamat-lamat percakapan Papa dan Tania menyelusup gendang telinga Aina. Syaraf dan geraknya tak lagi seirama. Angannya mengembara entah ke mana sementara nasi dipiringnya porak-poranda oleh adukannya semata.
**
Lambat-lambat matahari merapat ke barat. Cakrawala berhias rona merah pepaya. Pedarnya menghangat usai seharian mendidih di puncak siang. Mama membimbing Aina memilih baju dalam lemari.
“Kenalkan ini namanya Tante Dewi. Mungkin kemarin kamu sudah sekilas melihatnya,” kata Mama buka suara usai mereka sampai di lantai empat. Di sebuah foodcourt mereka menghampiri seorang wanita yang sudah duduk menunggu.
“Aina, Tante.” Lekat-lekat Aina menatap wanita di depannya saat bersalaman.
“Tante Dewi ini seorang penulis lho,” tukas Mama.
“Oh, benarkah?” seru Aina terpana. Ditatapnya Tante Dewi, mencari pembenaran. Tapi Tante Dewi hanya diam. Mendadak wajahnya menegang namun Aina tak dapat menangkap kecamuk yang kini tengah mengusai wanita tersebut.
“Ririn Tungga Dewi atau biasa disingkat RTD. Masa’ kamu tidak mengenalnya? Hobimu kan membaca novel dan cerpen. Apa tak ada satu pun dari karya RTD?” tutur Mama runtut. Aina terlonjak. Dipakunya tatap pada wanita di depannya dengan takjub yang bersisa.
“Sebenarnya ada hal lain yang juga harus kamu ketahui,” kata Mama dengan wajah serius. Aina menoleh, menatap Mamanya. “Hmm, Mama tak tahu harus memulainya dari mana. Mama rasa … lebih baik Tante Dewi saja yang menjelaskannya,” lanjut Mama dengan pandang menuju Tante Dewi yang seolah membatu.
“Ada apa sebenarnya ini?” tanya Aina, tak mengerti. Hening membius keduanya, baik Mama ataupun Tante Dewi. Aina tak tahu harus bagaimana selain menunggu dalam kepenasaran yang kian merangkak.
“Tante Dewi ini ibumu.” Kalimat itu terlalu singkat untuk membuat Aina kaget. Aina terbengong di tempatnya. Seribu tanya menggumpal dalam otaknya namun tak menemukan jalan keluar. Mulutnya masih menganga dalam kesadaran yang belum paripurna.
“Ya, Tante Dewi adalah ibu kandungmu. Lima belas tahun silam, ia menitipkanmu pada Mama.”
Pernyataan Mama bagai pijar neon yang menyapu pekat gelap. Aina tak siap. Ia perlu waktu sesaat untuk beradaptasi. Sampai cahaya baru tak lagi menyakiti matanya.
Aina duduk resah. Begitu pun Tante Dewi, dengan mulut yang masih terkunci. Sayup-sayup Mama mulai bercerita dalam getar suara yang tak pernah didengar Aina sebelumnya.
Tutur Mama membuka semua tabir gelap yang selama ini membayangi Aina. Mengapa ia tak mirip salah satu dari orang tuanya? Mengapa kecerdasannya di bawah rata-rata adiknya? Mengapa kepiawaian Papa sebagai seorang lawyer tak menurun padanya? Mengapa fisiknya sama sekali berbeda dari Papa dan Mama? Mengapa apel jatuh terlampau jauh dari pohonnya? Ternyata mereka dari pohon yang berbeda.
Mama pamit pergi, Aina merasa dicurangi. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Kabar tadi begitu menghempaskannya.
“Aina, maafkan Ma, Tan…”
“Saya tak tahu apa ada yang perlu dimaafkan,” kata Aina mengambang.
“Tante tak punya maksud buruk. Tante hanya ingin mengetahui kondisimu. Jika memang sekarang kamu bahagia, sungguh Tante juga bahagia.”
Diam. Hening kembali.
“Ayahku … dia ada di mana?” tanya Aina pada akhirnya. Keingintahuan itu tak bisa dipendamnya. Tante Dewi menggeleng-geleng dalam isak yang menyeruak. Ia menangis. Tiba-tiba Aina mengingat sesuatu.
“Kisah dalam novel “Laut Cinta Abu-Abu” apakah benar adanya?” tanya Aina, memburu.“
“Saya ucapkan terima kasih karena telah mempertahankanku. Karena bisa saja saat itu Anda menggugurkanku usai kecelakaan yang merengut kekasihmu. Benar begitu bukan? Saya menamatkan novel itu dalam satu malam.” Kalimat Aina menderas bagai kucuran air. Sementara isak Tante Dewi makin menjadi. Berulang kali ia mengganti tisu.
“Mamaku memang tidak melahirkanku tapi bukan berarti ia tak pernah bertaruh apa-apa. Anda tahu? Saya dulu sangat merepotkan. Tak terhitung kali aku demam. Tak mau minum sembarang susu formula dan makanan bayi. Mama sering tak tidur karenaku. Ia bahkan keluar dari pekerjaannya. Melepas kariernya yang cemerlang,” imbuh Aina dengan mata menerawang.
“Jadi bolehkah saya membersamai dan bersama Mama? Bisakah Anda menitipkan kembali saya pada Mama? Dan bisakah Anda meminta keluargaku agar mau menampungku? Maafkan saya … mungkin satu waktu nanti kita bisa bernostalgia sebagai anak dan ibu. Tidak sekaku ini tapi … untuk saat ini….”“
“Baiklah. Sudah cukup bagiku melihat keadaanmu,” pungkas Tante Dewi sambil menyeka mata. Isaknya tak lagi bersisa.
Aina pulang dengan hati lapang. Untuk sementara, ia telah bersepakat dengan hati bahwa akan menjalani harinya seperti biasa. Nostalgia rahim belum cukup menggedor sudut-sudut hatinya yang selama ini hanya dipenuhi bayangan dan kenangan bersama Mama. Seorang wanita yang merawat, membesarkan dan mendidiknya meski ia lahir bukan dari rahimnya.#
Sumber gambar: freepik.com