NEGERI-NEGERI PILIHAN
Bab 1
“Dari mana saja kau?”
Setengah membentak aku bertanya. Lebih sejam aku menantinya. Waktu yang setara dengan puluhan purnama di bumi.
“Aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan kita.”
Dia menjawab tenang.
“Bukankah kita bisa melakukannya sambil jalan? Aku bahkan belum tahu kemana tujuan kita.” protesku. Ya. Bukankah sebaiknya kita tahu dulu kemana akan melangkah, barulah mempersiapkan segalanya?
Namun, dia tetap saja tenang. Tatapannya jernih. Sejernih laut Wakatobi. Laut yang hanya ada di planet paling subur bernama bumi itu.
“Kita tidak punya banyak waktu, sobat. Bumi sudah renta. Dajjal sudah tak sabar untuk menebar petaka di muka bumi. Akan lebih efisien jika kita bersiap-siap terlebih dahulu. Toh kemanapun kita menuju, persiapan yang dibutuhkan tidak jauh berbeda. Sekarang, lihatlah kemari. Lalu tunjukkan padaku negeri mana yang kau pilih.”
Dia membentangkan sebuah peta dengan gerakan jemarinya. Itu bukanlah peta biasa. Melainkan sebuah hologram. Didalamnya kau bisa melihat kondisi alam, demografi penduduk, potensi dan keunggulan, juga statistik ekonomi suatu negeri cukup dengan mengarahkan jemarimu ke tempat yang kau inginkan.
“Kau dan aku memilih satu negeri. Negeri yang sesuai dengan ekspektasi kita masing-masing akan rahmatal lil ‘alamin yang ada di sana.” usulku.
“Sepakat,” Dia mengangguk. “Kau duluan.”
Aku mengamati peta itu sejenak. Tidak terlalu sulit untukku memilih negeri yang akan kudatangi. Perhatianku langsung terfokus pada sebuah negeri yang luas membentang. Terdiri atas pulau-pulau kecil dan besar. Dikelilingi oleh samudera biru dan dilintasi kapal-kapal dengan berbagai bendera. Dan di dalam peta ini, negeri ini terlihat begitu hijau. Tidak ada negeri lain yang sehijau negeri ini.
“Aku memilih ini.” Aku menunjuk tegas.
Namun, dia malah menatapku ragu. “Kenapa?”
“Siapapun yang melihat, pasti akan jatuh hati. Dia seperti gadis dengan kecantikan di atas rata-rata diantara ratusan perempuan biasa. Dan kecantikannya sungguh alami. Lihatlah hijaunya yang anggun, pertanda kekayaan alamnya yang asri. Cermati demografinya. Mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Tentu, semakin banyak pemeluknya, semakin besar rahmatal lil alamin yang mereka bawa, bukan? Toh secara historis, mereka bisa hidup berdampingan dengan baik dengan para pemeluk agama lain. Memang, beberapa kali pernah terjadi konflik. Namun tidak sampai membuat mereka hancur dan terpecah.”
Dia menarik ujung bibirnya di ujung “khotbah”ku. Tersenyum sinis. “Sepertinya kau mencari jalan pintas, Sobat. Tetapi, instingku tetap mengatakan, bahwa kenyataan yang terbentang di sana, berbeda dengan apa yang baru saja kau katakan.”
Aku mengedik bahu. ”Terserah. Lalu, yang mana pilihanmu?”
Pandangan kami kembali tertuju kepada peta. Kali ini dia terlihat lebih serius. Beberapa kali matanya mengitari semua bagian bumi yang tampak di situ. Hingga akhirnya, jemarinya menunjuk pada sebuah bidang kecil. Sangat kecil hingga nyaris terlihat seperti sebuah noktah.
“Aku memilih ini.”
Jika tadi dia menatapku bimbang atas negeri pilihanku, kali ini aku memberinya tatapan heran. Luar biasa heran.
“Itu ‘kan hanya sebuah negeri kecil. Negeri yang kian hari wilayahnya kian tergerus. Hampir tiada hari tanpa dentuman senjata, darah mengalir dimana-mana, dan tangis para ibu yang harus kehilangan anggota keluarganya.”
“Tapi ini tanah para Nabi.” Dia menjawab tegas. “Sampai kapan pun, dan dalam kondisi apapun jua, tanah para nabi tetaplah tempat yang mulia.”
“Hmm, baiklah. Tidak ada gunanya kita berdebat. Jadi sekarang, kita akan pergi ke negeri mana dulu?”
Dia mengulurkan ponselnya. Ponsel dengan teknologi paling mutakhir. Teknologi yang memungkinkanmu lebih dari sekadar berkomunikasi, browsing, mendengar lagu, menonton film, rapat atau membaca buku, tetapi juga berfungsi seperti robot pribadi yang siap melakukan apapun perintahmu.
Seperti saat ini, dia cukup mendekatkan benda itu ke bibirnya, mengucapkan sesuatu, dan hanya dalam hitungan detik, layarnya telah menampilkan bidang datar dengan dua warna. Satu berwarna biru, satu berwarna merah.
“Kau pilih warna apa?”
“Merah.”
“Kalau begitu, aku yang biru. Kita mulai?”
Aku mengangguk. Dia lalu menekan satu tombol. Kedua warna itu kini saling membaur. Menjelma potongan-potongan segi empat yang mengecil, kemudian kembali membesar dan berakhir dengan kemunculan satu bidang dan satu warna. Merah.
“Kita ke negeri pilihanmu dulu. Kau siap?”
“Siap. Insya Allah.”
Aku dan dia lalu masuk ke dalam pesawat khusus, yang akan membawa kami ke tempat tujuan demi melaksanakan misi ini. Sebuah misi akhir zaman. Jika misi ini berhasil, maka bumi akan bernapas lega. Begitu juga para penghuninya. Tetapi, jika gagal, hanya Sang Maha Penguasa Bumi yang tahu, apa yang akan Dia lakukan setelah itu.
di kepalaku langsung nampil “film” mirip2 marvel gitu, tapi versi islami kali ya