NEGERI-NEGERI PILIHAN – Bab 4
BAB 4
Misi Selesai
Beberapa minggu kemudian,
“Kau yakin, ini cara yang paling tepat?” Dia menatapku ragu, juga penuh khawatir. Aku baru saja mengungkapkan detil rencana sebuah tindakan yang sangat besar. Yang belum pernah terjadi selama ini di belahan bumi manapun.
“Aku tidak tahu. Itu murni menjadi rahasia Sang Penguasa Alam. Bahkan soal ini akan terealisasi atau tidak. Hanya Dia yang berhak menentukan. Tetapi, diantara berbagai rencana, aku memang tidak punya rencana lain yang lebih efektif dari ini.”
“Kau sudah pikirkan matang-matang akan resikonya? Ini tidak hanya akan terjadi di negeri pilihanmu. Tetapi juga di seluruh dunia. Termasuk negeri pilihanku.”
“Ya. Itu memang resiko terburuknya.” Aku menatap muram pada langit yang tampak mendung. “Tetapi, sudah tidak mungkin untuk rencana-rencana yang berjalan perlahan. Sang Penguasa Alam telah mengulur waktu yang begitu panjang. Namun, kesadaran mereka sepertinya bergerak terlalu lambat. Tidak mungkin menyamai waktu yang kian berpacu menuju akhir zaman.”
“Lalu, bagaimana dengan orang-orang shalih? Mereka juga tidak luput dari akibat rencana ini bukan?”
“Ya. Itu juga resiko terburuk lainnya. Tetapi, kalaupun mereka turut menjadi korban, mereka akan mendapatkan tempat mulia sebagai para martir syahid.”
“Lalu, bagaimana dengan kebanyakan dari mereka? Yang tidak bisa dikategorikan buruk, tetapi hanya melaksanakan ajaran agamanya sesuai apa yang mereka mau?”
“Mudah-mudahan, jika rencana ini terlaksana, mereka akan berubah kearah yang lebih baik. Jadi, kalaupun mereka harus mati, mereka punya peluang untuk mati dengan husnul khotimah. Bukankah setiap manusia akan dilihat dari bagaimana dia menghabiskan sisa hidupnya?”
Dia menghela napas panjang. Menatapku dalam-dalam. Seakan hendak membaca setiap sel dalam benakku, memastikan bahwa aku belum gila.
“Sesungguhnya aku masih ragu. Namun, aku tidak punya ide yang lebih baik. Dari mana akan kita mulai?”
Aku membentangkan peta hologram. Menunjuk pada satu titik besar diantara titik-titik yang lain. Titik itu, mengarah pada negeri dengan penduduk terpadat di muka bumi. Dengan penduduknya yang sedemikian padat, dan mobilitas mereka yang sangat tinggi bahkan lintas negara.
“Kita tidak perlu menggunakan tangan kita untuk menjalankan misi ini. Tetapi para elit dunia yang memang sudah tidak sabar ingin mengacaukan kondisi dunia saat ini. Selanjutnya, kita tinggal menunggu dan melihat hasilnya, jika memang Sang Maha Penguasa Alam mengizinkan ini terjadi.”
Dia mengangguk. Meski separuh wajahnya masih diliputi awan cemas.
oOo
Setahun kemudian,
Peta hologram itu kini terbentang dalam dimensi yang lebih besar. Aku dan dia berdiri didepannya. Mengamati saksama setiap pergerakan yang terjadi, dan perubahan drastis di sana sini. Mata kami nyaris tak berkedip. Semua yang kami saksikan, berlangsung begitu cepat. Massif. Penuh ketegangan. Hampir semua lintasan antar negara, antar kota bahkan antar pulau ditutup rapat-rapat. Dimana-mana, jalanan tampak sepi. Orang-orang berdiam di rumah. Kalaupun harus keluar, mereka menutup separuh wajah dengan masker. Kemanapun mereka pergi, mereka harus selalu mencuci tangan. Membawa cairan pencuci tangan di dalam botol-botol mungil. Setiap hari, acara televisi terus menerus didistorsi oleh penyajian grafik dan angka-angka. Dan anjuran pemerintah setempat agar semua warga tetap berada di rumah saja.
Dunia tengah dilanda pandemi raksasa. Dengan pemicunya sejenis virus yang bahkan diameternya hanya sebesar 125 nanometer. Tidak lebih besar dari kuman. Namun kekuatannya melesat jauh, mengalahkan ribuan jenis virus yang sudah lebih dulu ada. Kemampuan ekspansinya juga lebih dahsyat. Mampu menembus pertahanan tubuh hanya dari sentuhan sang pembawa ataupun sepercik liurnya yang beredar di udara. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja, wajah dunia benar-benar berubah dibuatnya.
Aku menekan tombol zoom untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi di negeri pilihanku. Mereka kini juga lebih banyak berada di rumah. Mengurangi bepergian. Menutup wajah dengan masker. Para pekerja dirumahkan. Anak-anak sekolah diliburkan. Saat perubahan itu baru bermula, anehnya, masker dan botol-botol cairan pencuci tangan sudah lebih dulu lenyap. Menghilang di pasaran, out of stock hampir di semua apotik dan farmasi. Saat benda-benda itu muncul kembali, harganya sudah naik berkali-kali lipat.
Sungguh, bukan efek semacam ini yang kuharapkan. Aku menekan lagi tombol zoom, berharap akan menemukan sesuatu yang lebih melegakan. Di beberapa daerah, langitnya tampak lebih biru, warga kota dapat melihatnya lebih jelas, begitu juga awan yang berarak. Pemandangan ini, sudah lama menghilang dari pandangan mereka, tertutupi oleh asap dan polusi tebal.
Di beberapa titik lokasi, aku melihat noktah-noktah berwarna hijau terus membesar, lalu menjalar ke lokasi-lokasi lainnya. Itu sebuah pertanda baik. Noktah hijau melambangkan tengah terjadi arus kebaikan dalam jumlah besar. Aku menekan tombol zoom pada noktah-noktah itu. Tampak di sana, sejumlah orang tengah melakukan aksi sosial. Menggalang donasi, mengumpulkan sumbangan, membagikan bantuan kepada yang membutuhkan. Dan virus kebaikan itu ternyata efek penularannya lumayan cepat, meskipun belum secepat ekspansi sang virus. Aksi sosial berlangsung di banyak tempat, menghasilkan tampilan noktah-noktah hijau yang terus membesar.
Dan noktah hijau itu tidak hanya diwakili oleh aksi sosial. Di beberapa tempat, aku melihat orang-orang mulai giat menanam. Bahkan seupil pekarangan mereka pun kini dijejali pot-pot tanaman. Mereka sibuk bertanam sayur, bumbu dapur dan tanaman obat. Di beberapa tempat pula, tempat dimana jumlah yang mati terus naik dengan signifikan, banyak orang mulai intens dalam beribadah, mengurangi berghibah, dan setiap kali mereka mendengar berita kematian, mereka akan tersungkur dalam sujud yang panjang.
“Bagaimana? Kau puas dengan hasilnya?” Pertanyaannya memecah konsentrasiku.
Aku bingung harus menjawab apa. Karena jika aku menjawab “puas”, berarti hatiku sudah mati. Aku tidak peduli pada nyawa-nyawa yang berakhir dengan kematian. Dalam kebingunganku, aku bertanya. “Bagaimana dengan negeri pilihanmu?”
Dia menunjuk pada titik yang mewakili negeri pilihannya. Aku ternganga. Negeri itu, dengan semua grafik dan angka yang ditunjukkannya, dan pergerakan masyarakat didalamnya, menunjukkan kalau mereka nyaris bebas dari pandemi!
“Bagaimana bisa?” Aku bergumam.
“Apanya yang tidak bisa, bung? Jika Sang Maha Penentu sudah memutuskan untuk melindungi mereka, sedahsyat apapun virus yang ada, tidak akan melukai mereka sedikit pun. Lagipula, rahmatal lil alamin telah menaungi mereka sejak dulu kala. Tidak tergoyahkan oleh konflik yang menelan jutaan nyawa dan menguras berliter air mata. Kita lihat saja, apakah negeri pilihanmu mampu melewati ini semua. Dan bagaimana para penduduknya melewatinya. Jika noktah-noktah hijau itu terus membesar, atau setidaknya bertahan, insya Allah, kebaikan yang mereka lakukan itu itu akan membawa rahmat bagi seisi alam. Tetapi, jika tidak, barangkali beberapa puluh tahun lagi, kita akan berdiri di sini untuk menyaksikan mereka menemui kehancuran.”
Tanganku bergetar. Dan lidahku mendadak kelu. Sempat terpikirkan olehku untuk mengakhiri saja semua ini. Tetapi, aku khawatir kalau noktah-noktah hijau itu juga akan berhenti saat aku mengakhirinya. Toh Sang Maha Penguasa Alam telah mengijinkannya terlaksana. Bahkan efeknya jauh melampaui ekspektasiku. Lantas, mengapa kini aku dilanda gamang, saat menyaksikan begitu banyak kematian? Bukankah setiap yang bernyawa akan mati? Dan bukankah kelak jika Sang Maha Penggenggam Nyawa menghendaki, Dia akan mengganti mereka dengan kehadiran umat yang baru?
Tanganku menyambar gawai. Jemariku bergerak lincah diatas keypadnya, menuliskan kode perintah bahwa aku akan melakukan pesan suara.
“Memangnya, kau mau menyampaikan apa? Dan kepada siapa?” Dia bertanya saat aku sudah bersiap-siap didepan perekam suara pada gawaiku.
“Aku ingin menyampaikan kepada mereka, melalui suara-suara para orang alim dan pendidik yang ihsan, kepada generasi-generasi yang akan datang dan generasi baik yang masih tersisa, tentang makna rahmatal lil alamin yang sesungguhnya. Aku tidak ingin lagi mereka salah memahami, keliru dalam melaksanakan, sehingga alih-alih rahmat itu akan mendekat, justru berpaling dan lari jauh meninggalkan mereka.”
“Baiklah. Selamat melakukannya. Semoga pesanmu akan sampai kepada mereka yang siap menerimanya, siap pula melaksanakannya. Aku pergi dulu.” Dan dia meninggalkanku. Misinya sudah selesai.
oOo
Pagi itu, sebuah pesan yang cukup panjang beredar melalui lintasan-lintasan komunikasi virtual, di sebuah negeri nan subur dan jumlah penduduk muslimnya terbesar di muka bumi. Beredar begitu cepat dan masif, hingga dalam tempo sekejap mata, segera menjadi viral. Beginilah kira-kira bunyi pesannya.
“Segala peristiwa, termasuk musibah dan bencana, hanya akan terjadi atas kehendakNya. Namun, menjadikan agama ini rahmatal lil alamin, rahmat bagi semesta alam, haruslah kita perjuangkan bersama-sama. Dalam apapun kondisinya. Tidak ada rahmat tanpa bersandar pada syariat. Oleh karenanya, segala yang kita pikirkan dan lakukan, syariatlah landasannya. Toleransi yang penuh rahmat, bukanlah toleransi yang membabi buta hingga mengabaikan akidah, tetapi toleransi yang berlandaskan syariat. Menjadi umat yang berhati lembut dan pengasih, bukan berarti melunak terhadap pelanggaran syariat. Menegakkan hukum dan aturan, juga harus berpegang pada syariat. Tidak sekadar mengandalkan logika, apalagi mencocok-cocokkan dengan aturan manusia. Dan ingatlah, rahmat bukanlah paksaan. Jangan berdakwah dengan memaksa, tetapi berdakwahlah dengan sikap, dengan perbuatan, dengan perkataan yang selalu terjaga dalam taqwa.“
Pesan itu, dalam sekejap menuai banyak silang pendapat. Dan berjuta tanda tanya. Orang-orang yang tengah dilanda pandemi itu, saling berusaha mengkonfirmasi kebenaran.
Siapa sang pengirim pesan?
Mengapa tidak tercantum nama sumbernya?
Apa hubungannya dengan ujian yang tengah mereka hadapi?
Jangan-jangan, ini hanya hoax? Seperti juga banyak kabar lainnya yang selama ini beredar di gawai-gawai.
Sementara itu, nun di sebuah negeri di padang pasir, noktah-noktah hijau itu telah meluber, memenuhi seisi negeri. Tidak ada ketakutan di negeri itu. Meski darah syuhada membanjir di setiap sudutnya. Dan letusan senjata mewarnai hari-hari mereka. Negeri para Nabi. Negeri bergelimang rahmatal lil alamin.
SELESAI
Pic source : freepik.com