NEGERI-NEGERI PILIHAN – Bab 3
BAB 3
Negeri Pilihan II
Hawa gersang langsung menyambut kami saat menginjakkan kaki di bumi para nabi. Suasana tampak sepi. Bangunan-bangunan petak beratap datar seakan menjadi tonggak kesunyian. Tidak banyak penduduk sipil yang berlalu lalang. Bahkan mungkin hanya sedikit lebih banyak, dari orang-orang berseragam hijau dan menenteng senjata, hilir mudik dengan langkah perkasa.
Namun, aneh. Ini sungguh aneh. Dalam kegersangan ini, tubuhku justru seakan dipenuhi oleh sejuk angin. Dadaku lapang oleh udara segar. Dan penciumanku menghidu aroma bunga setaman. Bukan bau anyir darah seperti dugaanku sebelumnya. Mengapa bisa begini?
“Kita kesana?” Dia mengajakku ke sederet bangunan yang sepertinya adalah pertokoan. Pintu-pintunya terbuka. Dari dalam, para pria keluar. Melangkah tenang menuju tempat dimana terdengar suara azan. Memanggil-manggil mereka untuk shalat. Sepertinya, mereka adalah para karyawan toko. Mungkin juga termasuk pemiliknya. Toko ditinggalkan kosong. Juga terbuka. Aku mengamati saksama. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Toko tetap terbuka. Namun, tidak ada tamu tak diundang yang berminat untuk masuk. Mengambil satu dua barang-barang yang ada di dalam toko. Sampai para pria itu kembali, lalu menjalankan aktivitas sebagaimana layaknya, toko mereka tetap aman.
“Bahkan saat ada kesempatan, para pencuri enggan memanfaatkannya.” Aku bergumam. “Bukankah tidak hanya pencuri sungguhan. Mereka yang awalnya tidak berniat mencuri pun, akan terdorong untuk melakukannya saat ada kesempatan?”
“Mereka di sini pun tahu itu, kawan. Tetapi, mereka juga tahu, bahwa Sang Penguasa Alam selalu mengawasi mereka. Tidak lengah sedikit pun.”
Lidahku sudah gatal akan berkata, bukankah hampir semua penduduk negeri pilihanku juga mengetahui akan hal itu? Tetapi, jangankan saat lengang, di tengah keramaian pun, mereka sanggup menggeser jarum timbangan.
Aku memilih diam. Mengunci mulutku dan mengikutinya yang terus berjalan. Di sepanjang ruas jalan yang kami lewati, kami mendengar lantunan kitab suci. Bergema lirih hingga merdu, dari balik rumah-rumah sederhana bahkan reruntuhan tembok yang gagal menunjukkan bentuk sebelumnya. Di salah satu sudut jalan, di bawah tenda-tenda beratap terpal, di atas hamparan permadani tipis yang berlubang-lubang, beberapa remaja berkumpul, mengelilingi seorang pria berjubah dan berjenggot panjang. Satu per satu dari bibir para remaja itu, mengalir bacaan kitab suci. Kepala mereka tertunduk, kitab di hadapan mereka tertutup. Hanya kitab dalam genggaman sang pria berjubah, dalam kondisi terbuka.
“Mereka sedang menghapal kitab suci. Lalu menyetorkannya pada sang guru.” Dia menerangkan. “Sebagian besar mereka di sini melakukannya. Para pemuda itu. Karena mereka tidak tahu, besok atau lusa mereka masih hidup atau sudah meregang nyawa. Dan bacaan kitab suci, tidak boleh hilang dari dada mereka. Jika ada yang mati, bacaan itu akan tetap hidup di dada mereka yang belum ditakdirkan untuk menemui Tuhannya.”
Aku kembali memilih diam. Rasa malu mulai menjalariku, atas pilihanku dan dugaanku yang keliru. Namun, aku dan dia hanya punya satu pilihan. Tidak bisa direvisi atau diganti. Dan dia ternyata sudah tahu banyak tentang negeri pilihannya. Mungkinkah ini yang dilakukannya diam-diam saat “mempersiapkan segala sesuatu”? Dalam diam, kami kembali melanjutkan perjalanan. Melintasi bangunan-bangunan minimalis. Minimalis dalam makna yang harfiah.
“Tunggu!” Aku menahan tangannya saat kami melewati mulut sebuah gang sempit.
“Ada apa?”
Aku tak menjawab. Hanya menunjuk ke dalam gang. Dua orang wanita tengah berjalan perlahan. Yang satu tampak masih muda. Gamisnya terulur hingga hanya menyisakan ujung sepatu tipisnya. Jilbab panjangnya menutup hingga lutut. Dia memapah seorang wanita tua yang sedikit bungkuk. Uban menghiasi keseluruhan rambutnya. Sebelah tangannya menggenggam tongkat. Dan didadanya yang tertutup jaket rajut, sebuah kalung salib tergantung.
Beberapa kali wanita tua itu berhenti, memegang dadanya dengan wajah menahan sakit. Sang wanita muda ikut berhenti setiap kali dia berhenti. Menahan tubuh sang wanita tua dengan sebelah tangan. Dan tangan yang sebelah lagi menggosok pelan punggungnya. Begitu terus hingga langkah mereka terhenti di bangku kayu, tak jauh dari mulut gang. Wanita muda membantu wanita tua duduk. Membetulkan jaket rajutnya. Mengeluarkan botol minum dari dalam tas kain, mengucapkan bismillah, dan memberikannya pada sang wanita tua. Dan dari bibir sang wanita tua, beberapa kali terlahir ucapan terima kasih.
“Apakah ini terjadi hampir di setiap sudut negeri ini? Ataukah hanya satu dalam seribu peristiwa?” Aku bertanya kepadanya tanpa sedikit pun mengalihkan tatapanku dari kedua wanita itu. Kini mereka tengah berbincang-bincang. Sang wanita muda menawarkan makanan kecil dari wadah yang dibawanya – entah kacang atau buah-buahan kering – yang jelas, wanita tua itu tampak senang.
“Secara statistik, hal semacam ini biasa terjadi di negeri ini. Toleransi selalu ada dimana-mana. Dan mereka tidak merasa penting untuk menunjukkannya di sosial media. Apa yang terpenting, mereka tetap melakukannya, dalam kondisi sesulit apapun.”
“Statistik?” Aku mengernyit. “Tetapi, negeri pilihanku juga menunjukkan statistik yang baik dalam hal toleransi. Para minoritas bisa hidup damai. Nyaris tidak pernah terjadi konflik antar suku, agama dan ras yang mengancam persatuan. Dan demokrasi di sana juga relatif aman. Bebas dari kisruh dan demonstrasi yang menelan banyak korban.”
Dan tawa lepasnya, menjadi respon pertamanya sebelum dia berkomentar, ”Tidak semua negeri punya data yang akurat, Bung. Tapi, kau tidak perlu terlalu kecewa. Mudah-mudahan, kenyataan yang satu ini akan membuatmu optimis tentang negeri pilihanmu. Mari, ikut aku.”
Penasaran, aku mengikuti langkahnya yang kali ini lebih bergegas. Arlojinya mulai mengeluarkan cahaya merah yang berkedip-kedip, pertanda bahwa waktu kami hampir habis. Langkahnya berhenti saat kami mendekati perbatasan. Beberapa truk dan pick-up melintasi portal yang dijaga banyak tentara. Kendaraan-kendaraan besar itu berhenti di depan portal. Para tentara bergerak cepat. Menginterogasi para supir, lalu memerintahkan untuk membuka akses bagi mereka memeriksa barang yang diangkut oleh kendaraan. Menit-menit yang panjang berlalu hanya untuk meloloskan satu kendaraan. Untungnya, semua kendaraan itu diizinkan melewati portal.
“Kau tahu apa yang ada di dalam kendaraan-kendaraan itu?”
Aku menggeleng.
“Itu adalah paket-paket bantuan dari negeri pilihanmu. Dikirimkan oleh orang-orang baik untuk saudara-saudara mereka di sini. Bukan hal mudah untuk mendatangkan paket bantuan kemari. Tetapi, mereka tetap melakukannya. Sampai hari ini. Kupikir, karena adanya merekalah, dan kebaikan-kebaikan yang terus mereka tanam, negeri pilihanmu masih aman dari azab yang benar-benar dahsyat. Hanya sebatas teguran-teguran kecil dari Sang Maha Penguasa agar diantara mereka, tetap ada yang sadar untuk tidak tenggelam dalam tipu daya. Wallahu’alam.”
“Jadi, apakah negeri pilihanku masih punya harapan, untuk menggapai rahmatal lil ‘alamiin seperti negeri pilihanmu?”
“Tentu! Sangat mungkin!” Dia berseru lantang. Seruan yang dalam sesaat, cukup menaikkan harapanku yang nyaris tersungkur ke titik nadir. “Jika semakin banyak dari mereka yang bertobat, dan paham benar bagaimana menunjukkan agama penuh rahmat itu dalam setiap perbuatan dan perkataan, aku yakin, negeri pilihanmu akan menjadi negeri paling subur. Subur dalam makna yang holistik. Tidak hanya subur alamnya, tetapi juga subur penduduknya dan keimanannya.”
“Kau benar. Tetapi….seperti kau bilang. Waktu yang tersisa tidak banyak. Dan kita harus kembali sekarang.” Ujarku lirih.
“Kau benar. Mari kita pulang.”
Kami berdua bergegas bangkit, persis saat arlojinya menyalakan sinar merah yang kian benderang. Tidak lagi terputus-putus. Waktu untuk misi pertama kami sudah habis.
Pic source : freepik.com