NEGERI-NEGERI PILIHAN
Negeri Pilihan I
“Bagaimana?”
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Kami telah tiba di negeri pilihanku. Mendadak aku merasa gerah. Pusing dan gelisah. Ini berbanding terbalik dengan yang seharusnya kurasakan. Negeri yang dinaungi oleh rahmat semesta alam, semestinya memberiku perasaan tenang, sejuk dan bahagia.
“Apakah kau merasakan seperti yang kurasakan?” Aku bertanya kepadanya.
“Jika yang kau alami adalah perasaan-perasaan negatif, akupun merasakannya. Mari kita cari tahu sebabnya.”
Dia menggamit lenganku, menuju sebuah tempat yang menebar aroma lezat. Dari luar, bangunannya tampak megah. Dindingnya berwarna merah bata dan bagian depannya berlapis kaca. Kami bisa leluasa melihat isi didalamnya. Ada begitu banyak meja dengan orang-orang yang duduk mengitarinya. Di depan mereka terhidang makanan dan minuman. Sebagian tampak menikmatinya tanpa bicara, tetapi ada juga yang sambil berkata-kata dengan lawan bicaranya. Membuat mulut mereka tampak menggembung, dan sang lawan bicara tampak kurang senang. Di beberapa meja, kami melihat piring-piring dengan sisa-sisa makanan. Bahkan ada yang sepertinya baru dimakan separuh. Tak sadar, aku menggeleng.
“Untuk apa mereka memesan jika tidak dihabiskan? Apakah guru atau orang tua mereka belum pernah mengajarkan tentang mubazir?”
Belum hilang rasa gusarku, mataku kini tertuju pada seorang perempuan. Dia mengenakan baju yang serupa dengan banyak perempuan lain di tempat ini. Mereka mendatangi meja, mencatat sesuatu, lalu pergi dan kembali lagi sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman. Namun, bukan rutinitas itu yang membuat kegusaranku kian bertambah. Perempuan itu mengenakan penutup kepala. Seperti juga yang dikenakan banyak perempuan di negeri ini. Tetapi, bajunya melekat begitu erat di tubuhnya hingga aku khawatir dia akan sesak napas. Dan separuh kakinya tertutup oleh kaus kaki panjang berwarna hitam. Kaus kaki yang justru menunjukkan lekuk-lekuk kakinya dengan begitu kentara.
“Sepertinya pemandangan dari sini membuatmu tambah pusing. Kita ke belakang saja?”
Aku menurut. Kami lalu melangkah ke belakang. Ke bagian gedung yang ramai oleh suara benda-benda yang saling bertemu. Dan aroma makanan yang kian mengekspansi radar penciuman.
“Kenapa sayuran itu tidak dicuci? Dan…..daging-daging itu, mereka mengambilnya dari lantai, bukan?” Aku memandang jijik. Sungguh tidak menduga, seperti ini cara mereka memperlakukan makanan sebelum dihidangkan.
“Kita pergi?” Dia sepertinya memaklumi ekspresiku. Aku mengangguk. “Aku mau ke pasar.”
Tanpa bertanya, dia mengikuti langkahku.
oOo
Suasana di pasar tampak sangat ramai. Orang-orang berlalu lalang. Menawar, membeli dan berlalu dengan tangan menenteng barang belanjaan. Dia mengajakku berhenti di tempat seorang penjual ayam. Sang penjual tampak sibuk memotong-motong ayam sesuai permintaan pembelinya. Keringatnya bercucur deras. Disekanya dengan handuk kecil yang tersampir di leher. Beberapa ibu mengantri dengan sabar. Sekilas, semua tampak normal.
Aku dan dia lalu berjalan ke bagian belakang sang tukang ayam. Dan insting kami sepertinya sepakat, terarah pada jarum timbangannya. Jarum itu bergeser beberapa derajat meninggalkan angka nol. Sang penjual menaruh beberapa ekor ayam diatasnya, lalu memutarnya menghadap pembeli. Menunjukkan angka yang kini bergerak oleh berat ayam diatasnya. Sang pembeli mengangguk.
“Sudah berapa lama dia begitu? Menipu pembelinya dengan menyetel jarum timbangannya?” Aku bergumam. Lalu menggeleng-geleng.
“Aku yakin, bukan hanya dia yang begitu.” bisiknya. “Mari kita keliling.”
Berdua, kami melakukannya. Mengelilingi seisi pasar. Mengamati setiap timbangan, juga melihat kondisi barang-barang yang dijual. Dan hampir semua yang kami temukan, tak urung membuatku terkaget-kaget. Dia benar. Bukan hanya si penjual ayam yang mengelabui pembelinya. Tetapi banyak sekali pedagang, melakukan hal serupa. Ada yang menyetel jarum timbangan, yang menyelipkan cabe layu dan sayuran berlubang pada belanjaan pembeli yang malas memilih, yang mempermak penampilan ikan busuk sehingga tampak seperti ikan segar.
“Kau belum capek ‘kan?” Dia bertanya.
“Belum, tapi aku ingin ke tempat yang lebih nyaman. Yang tidak harus bersesakan dan aku bisa menghirup udara segar.”
“Kalau begitu, kita ke taman kota saja. Aku juga ingin istirahat sebentar. Karena setelah ini, kita harus segera pergi ke negeri pilihanku.”
Kami lalu menuju taman kota. Duduk di salah satu bangkunya seraya memandang sekeliling. Dari luar, tempat ini memang nyaman, bersih dan sejuk. Namun dari tempat kami duduk, kami bisa mencium aroma busuk sampah, bau parit tersumbat, dan mendengar suara-suara yang kurang pantas dari balik rerimbunan. Padahal, saat ini matahari masih bersinar cerah. Tetapi, suara-suara itu, tak ubahnya suara-suara kala malam memekat, memecah sunyi dari balik bilik-bilik maksiat.
Aku mengusap tengkuk. Rasanya, sudah separuh hari kuhabiskan di sini, belum juga kurasakan rahmatal lil alamin yang sesungguhnya menaungi negeri ini. Teringat sesuatu, aku berkata kepadanya. “Kau punya ide, bagaimana kita bisa melihat tentang toleransi di negeri ini tanpa harus kemana-mana lagi? Aku sudah lelah.”
Dia menjentikkan jarinya. “Itu gampang.” Lalu, dia mengeluarkan ponselnya, mengusap-usapnya sejenak, dan dalam sekejap, layarnya telah menampilkan beberapa kanal sosial media. Jika hari ini ponselmu hanya bisa menampilkan satu kanal saja dalam satu tampilan, ponselnya bisa menampilkan sebanyak mana yang kau mau, lalu mengoperasikannya pada waktu bersamaan.
Aku menepuk jidat. Mendadak merasa bodoh. Tidak terpikirkan akan hal itu sampailah dia yang lagi-lagi mengeluarkan idenya. Tetapi….”Tunggu! Apa menurutmu ini efektif, dengan kita melihatnya hanya melalui interaksi mereka di sosial media?”
“Tentu saja!” Dia menjawab tanpa ragu. “Kau tahu? Lebih dari 170 juta jiwa penduduk negeri ini menggunakan internet. Dan tujuh puluh persen darinya adalah pengguna aktif sosial media. Statistik itu sudah lebih dari cukup untuk kita melihat seperti apa pola toleransi di sini.”
Dan tanpa menunggu responku, dia mulai mengecek semua kanal yang ada. Telunjuknya bergerak sangat aktif, mengetik tagar ini dan itu, menggeser ke atas dan ke bawah, sesekali berhenti pada status yang melampirkan video ataupun kolase foto.
“Bagaimana?” tanyanya setelah sekian menit berlalu, dan bangku yang kami duduki mulai berkurang hangatnya. Di langit, matahari sudah tak lagi garang. Sepertinya, sebentar lagi hari akan beranjak petang.
Aku menghela napas panjang. Kenyataan yang ada dibalik layar, tidak jauh berbeda dengan fakta yang kami temui di sekitar kami. Orang-orang sibuk berbalas status, saling cerca dan menghina. Menyebarkan berita yang entah hoax entah nyata, tentang aib dan dosa mereka yang berbeda keyakinan dengannya. Masing-masing merasa paling benar, dan yang berseberangan, adalah para pesakitan dan pendosa.
“Ini tidak mungkin!” Aku menggeleng-geleng. Nyaris putus asa. “Tidak mungkin semuanya kacau begini. Pasti ada beberapa tempat di negeri ini yang dicucuriNya rahmatal lil alamin. Kalau tidak, untuk apa jumlah mereka yang ratusan juta ini? Memeluk agama penuh rahmat tetapi tidak berhasil menghadirkan rahmat itu sendiri! Bahkan tidak juga di dalam diri mereka sendiri!”
“Tenang dulu kawan. Kau benar. Tempat-tempat itu masih ada. Orang-orang baik juga banyak. Hanya saja, keberadaan mereka dan tempat-tempat yang penuh rahmat itu, tertutupi oleh situasi buruk, yang jumlahnya jauh lebih banyak. Dan ini berbahaya. Lama-lama, rahmat itu akan menghilang sepenuhnya dari negeri ini. Orang-orang baik akan terkucil dan dianggap aneh. Sebaliknya, hal-hal buruk dianggap wajar, orang-orang jahat dianggap pahlawan.”
Aku terdiam. Akhirnya menyadari, bahwa jumlah bukanlah cermin. Yang banyak hanya akan menjadi buih, jika tidak menyimpan kekuatan dan ketaatan didalamnya.
“Aku ingin melihat negeri pilihanmu.”
Dia mengangguk. Mengepalkan tangannya ke udara. “Ayo berangkat!”
Pic source : freepik.com