Meleleh di Benuaron
Meleleh di Benuaron
Oleh Ika Yuliana
Air Hitam, Sarolangun. 2015
Sewaktu Arunika bertanya “Perasaan apa yang dimiliki pohon-pohon?” aku sudah terlanjur menyelami pekerjaan ini.
Perempuan itu masih berkelebat dalam ingatanku. Ia sedang berdiri terpaku sambil menatap lekat sisa getah dan lingkaran kambium dari pohon depan pondok yang baru saja suaminya tebang. Persoalannya klasik. Hanya karena pohon itu sudah tua dan akan tumbang seketika atau kapan saja.
Ketika tiba-tiba cahaya matahari pagi sesuai namanya, Arunika1, menyayat pelan-pelan aku dan pekerja lainnya yang sejak lima jam yang lalu telah mendengkur di tenda-tenda darurat dalam hutan perusahaan ini. Aku bangkit menatap keluar tenda, Api unggun bekas semalam memanggang ikan sungai sudah padam-tinggal abu, lampu neon 15 watt masih menyala, sementara burung-burung kecil saling mengadu kicauan dan mencuri-curi pandang pada langkahku yang mengendap-endap, menatapku awas barangkali aku membawa benda yang dapat mencelakakan mereka.
“Tenanglah.” kataku pelan pada mereka, yang tentu masa bodoh terhadapku.
Dalam perenungan yang tak sudah-sudah aku kembali menatap sebuah pohon di depanku yang sejak hari pertama tak mempan ditebang oleh mesin apapun. Pohon yang memiliki daya tarik untuk terus dipandang. Barangkali aku yang sudah mulai tua sehingga tak mampu mengayunkan kapak dengan baik, atau pikiranku sudah bodoh sehingga tak tahu cara menebang atau menggunakan mesin penebang. Harus aku akui, tempat ini sangat unik dan memesona. Ada hutan di dalam hutan. Bagaimana bisa ada tanaman-tanaman ladang di dalam hutan?
“Bahkan alam punya kemauan keras.”
Aku menoleh geram. Tak sudi mendengar ucapan barusan. Roni, rekan kerjaku yang suka bermalas-malasan tampak berkacak pinggang. Cahaya matahari menyinari wajahnya yang belum bersih dari air liur sisa tidur. Usai mengatakan itu, matanya memicing pada sebentangan pepohonan yang ada didepannya, lalu menatapku dengan tatapan kekalahan yang sepertinya tak akan padam. Sama dengan Roni, Ardi dan barisan-barisan pekerja juga menatapku seolah berkata “Ayo pulang saja.” Atau “ini tempat angker!” lantaran mereka menemukan kerangka manusia di hari ketiga tempat ini.
Oh, sudahlah. Ini zaman sudah canggih! Itu hanya kerangka orang rimba bekas melangun2. Kenapa harus gentar? Tapi Roni terus mengatakan bahwasanya pohon itu mendengar dan telah menaburkan benih-benih kemarahan pada kami. Sejumlah buruh sudah kelelahan dan nyaris menyerah. Aku kira ini adalah proyek yang paling sulit dilakukan sejak empat belas hari yang lalu, tak satupun pohon yang bisa kami tebas. Tapi pasti ada cara supaya pohon ini akhirnya tumbang.
Tetapi entah mengapa orang-orang ini lebih mampu membuatku kesal dalam durasi yang singkat. Mereka orang-orang yang mudah menyerah. Jika alam berkemauan keras, aku lebih keras. Lantas aku meraih gergaji listrik, menatap bayang-bayang pohon nangka besar di belakangku, yang malah entah mengapa membentuk lekuk tubuh dan untaian panjang rambut Arunika.
***
“Benuaron2 adalah sebuah peninggalan yang dipenuhi dengan nuansa magis.” ujar Arunika, sambil memandang kagum sebuah foto ladang sekunder yang berada persis di antara hutan di depannya.
Untuk kesekian kalinya Arunika menunjukkan foto Benuaron yang diambil di pagi hari ketika musim panen tiba. Berkali-kali pulalah perasaanku pada foto itu ia bangun menjadi rangkaian kekaguman yang menjalar. Perasaan seperti terhipnotis oleh kehijauan tempat itu. Tempat yang sangat memesona. Surganya hutan yang memang sudah menjadi surga. Arunika tak sadar bahwa pandanganku telah beralih dari sekadar foto itu kepada dia yang masih tersenyum-senyum. Mungkin hanya Arunika yang mampu menyaingi kemurnian tempat itu. Perempuan lugu.
Arunika adalah keturunan Tumenggung, orang Rimba di Sarolangun yang dulu paling keras perlindungannya pada hutan terutama dari orang-orang luar. Ia amat bangga pada sejarah sukunya, Seloko, paham animisme dan segala hal tentang hutan. Banyak Seloko, mantra dan perihal orang Rimba yang ia ceritakan dengan fasih padaku. Buyutnya seorang tumenggung yang memiliki kekuatan magis untuk menjaga hutan dan rentetan rahasia di dalamnya. Termasuk Benuaron, yang menjadi seperti taman di belantara hutan gelap. Pohon durian, duku, nangka dan sejenisnya menyubur di Benuaron. Pada musim panen Benuaron menjadi bertumpuk-tumpuk limpahan karunia Tuhan.
Lalu aku dan Arunika tenggelam dalam pandangan masing-masing. Ia sibuk merindukan keluarga dan kampungnya, aku sibuk memikirkan suami Arunika.
“Kenapa hanya di foto?” tanyaku penasaran.
“Maksudmu?”
“Kenapa tidak ambil saja sebagian dahannya lalu diawetkan?”
Arunika lalu berhenti memandangi foto Benuaron, hadiah dari suaminya, sewaktu dulu ketika lelaki itu –si orang luar– susah payah menjatuhkan hati Arunika. Dulu, ketika lelaki itu belum mabuk uang dan tega membakar habis seperempat hutan biosfer. Dulu sekali, ketika alam akhirnya menunjukkan siapa dia kepada lelakinya, hingga merebut hidup lelaki itu.
“Dia bahkan membawakan aku abu sebagai oleh-oleh.” ujar Arunika, tak jelas dia yang ia maksudkan itu siapa.
“Maksudnya?”
Kemudian Arunika menceritakan aku yang dulu sangat tergila-gila pada bintang.
“Kau dulu sangat mencintai bintang sampai merengek padaku untuk diambilkan satu.”
“Lalu?”
“Bukan karena kau mencintai bintang lantas kau bisa membawanya pulang.”
“Tapi ranting, daun, batang pohon bisa dibawa pulang.”
Mendengar itu Arunika sadar ia memiliki putra yang boleh jadi berbakat seperti suaminya, menjadi manusia-manusia perusak.
“Nak, kau tumbuh dan bernafas dari udara pohon-pohon. Kalau mereka pergi, bernafas dengan apa kau?”
Aku berpikir. Kemudian menatap potret Benuaron di genggaman Arunika yang masih memandangiku. Belum sudah tatapan aneh Arunika padaku, terdengar suara Uwak Asih memanggil-manggil namaku, seperti biasa menyuruhku makan dan bertanya-tanya aku sedang bersama siapa dan berbicara apa?
***
Hari ke-15
Embun belum menguap dan mengirim pesan akan kembali lagi besok atau tidak sama sekali, ketika aku mendapati lelehan air mata dari pohon yang kemarin dengan sangat keras kepala mempertahankan diri. Dan ia tahu aku lebih keras kepala. Tapi, apa gunanya menjadi orang yang lebih keras?
Semua pekerja tak terkecuali Roni bangkit kepercayaan dirinya untuk kembali menebang pohon selepas melihat keberhasilanku sore kemarin. Mereka bersorak sorai, lantas mulai mengikat erat batang pohon dengan tambang, yang lain sibuk mempersiapkan titik api untuk membakar akar-akar pohon. Mereka melambai-lambaikan tangan padaku untuk menjadi memimpin ‘upacara’ itu, sementara entah mengapa hatiku mulai merasakan sakit yang amat menatap air mata yang meleleh di tunggul pohon itu.
“Astaga…”
Jantungku berdebar. Wajah pohon ini mirip dengan yang ada di foto Benuaron milik Arunika. Aku berhenti melangkah. Bayangan-bayangan perasaan yang entah apa itu berkelebat di kepalaku. Tentang potret Benuaron yang aku dan Arunika kagumi setiap hari, tentang cerita Uwak asih perihal melangun, tentang kematian Arunika, tentang bayi keturunan rimba yang dibawa pulang seorang lelaki ke kota.
Aku meringis. Terlebih ketika menatap lagi pohon itu yang terus melelehkan air mata. Pohon yang malang, ia hidup dengan do’a orang Rimba, dirawat supaya besar dan subur, dengan perasaan harap dan ceria. Usianya sudah ratusan tahun. Sekarang malah berakhir dibunuh olehku. Aku ini memang si sialan yang lelah hidup miskin tapi lupa diri.
Sayup-sayup suara memanggilku. Tiba-tiba Arunika sudah berdiri di hadapanku, bertanya, “Perasaan apa yang dimiliki pohon?” []
***
Ket :
- Arunika (kb) cahaya matahari di pagi hari, berasal dari bahasa sanskerta
- Melangun (kk) Kegiatan pergi dari tempat tinggal karena salah satu kelompok SAD meninggal dunia.
- Benuaron (kb) Ladang yang digarap oleh SAD di dalam hutan sebagai kebun buah-buahan, seperti pohon nangka, durian, duku dan lain-lain. Lama-kelamaan akan menjadi hutan dan warisan leluhur SAD. Biasanya hanya digarap selama 2 tahun. Ditinggalkan jika lahan sudah tak subur lagi atau karena faktor tertentu, seperti melangun.