Katakan Saja Kita Bercerai
Dan akhirnya, yang kutakutkan benar-benar terjadi. Dian hamil. Ke mana ia mengadu? Tentu padaku. Aku yang selama tiga tahun bersamanya. Yang sejak kelas tiga—yang pada masa itu teman-teman lain mati-matian belajar agar lulus SMA—aku dan Dian mati-matian menutupi gejolak hati kami. Lalu, bahkan tanpa kami duga sebelumnya, kami mengakui di depan aktivis Rohis lain, bahwa kami memang pacaran.
Tapi sungguh, selama tiga tahun itu, baik dalam kondisi senang karena bisa melangkahi kungkungan Rohis, atau pada kondisi paling buruk ketika tak satu universitas negeri pun yang menerima kami, aku dan Dian tidak pernah menyalurkan keduanya pada hal keterlaluan seperti yang sekarang Dian buat. Aku tidak pernah memasuki kamarnya, tidak pernah meminta bagian tubuhnya. Menyentuh tangannya adalah hal paling menyedihkan (baru kusadari sepenuhnya sekarang) yang pernah kulakukan.
Tapi Dian meruntuhkan dindingnya sendiri. Bahkan hanya enam bulan setelah kutinggalkan. Jika saja ia tahu, laki-laki inilah yang menangisinya. Bukan teman enam bulannya itu. Tahukah kau, bagaimana sakitnya menekan perasaan? Kutinggalkan ia untuk cinta yang sebenarnya. Seperti laki-laki lain, aku tidak bisa bicara. Aku kesulitan mencari kata-kata yang tepat, untuk mengatakan bahwa aku ingin kembali menjadi hamba Tuhan yang patuh pada-Nya.
Dan akhirnya, yang kutakutkan benar-benar terjadi. Dian hamil, mirisnya, dengan orang yang katanya tak ia cinta bahkan seujung kelingking pun. Lalu ia menyalahkan aku. Aku yang membuatnya mencari pelarian, aku yang membuatnya gila, dan pada akhir curahan ceritanya, ia mengaku telah mengandung anakku pada orang tuanya.
“Ini keputusan paling berat yang pernah saya buat. Menikahkan anak perempuan satu-satunya dalam usia sangat muda, pada orang yang belum bekerja. Tapi ini mungkin tidak lebih buruk risikonya dibanding aborsi, yang harus mempertaruhkan nyawa. Saya ingin kamu betul-betul bertanggung jawab, tidak sekadar menikahi, tapi juga menafkahinya.”
Aku mengangguk. Dalam sekian kali pertemuan, tak sekali pun aku berani bersuara untuk membersihkan nama baikku.
“Heran, ternyata celana cingkrangmu itu cuma tipuan. Saya kira kamu memelihara jenggot karena alasan agama.” Calon Bapak mertuaku menggeleng berulang-ulang, ia kecewa pada orang yang salah.
“Pak,” aku angkat bicara. Orang tua berbahasa tajam ini selalu saja memancing emosiku dengan pilihan katanya yang mengandung justifikasi.
Dian lebih dulu menolehku, masih dengan mata dan pipi yang memerah seperti hari-hari sebelumnya.
“Apa?”
Aku menggeleng sekali, tanpa suara. Aku tak tega.
“Biaya pernikahan biar saya yang tanggung. Kamu segera cari pekerjaan, kantor saya sedang tidak butuh karyawan. Lagi pula saya ingin kalian menanggung risiko yang kalian buat. Kalau saja kalian tidak menikah sekarang, tanpa kasus memalukan ini, saya akan hadiahkan rumah beserta isinya.” Ia mendengus kesal, pada orang yang salah.
Kuhirup napas, masih dengan tunduk yang dalam. Untuk siapa pengorbanan ini? Karena masih mencintainya, atau mengharapkan ridha-Nya karena telah menutupi aib saudaraku.
Kulirik Dian yang duduk berjarak satu sofa dariku. Ia sedang menatap laki-laki pujaannya yang kini tunduk sebagai pesakitan. Inilah azab dari dosaku, tiga tahun lebih enam bulan lalu.
Kemudian kami menikah. Dian tinggal di kontrakan, aku tetap di kamar kosku. Bagaimana pun aku menutup peristiwa itu, seorang bangsawan tentunya tidak ingin melewatkan unsur kemewahan pada pesta putri kesayangannya. Yang justru dengan demikian, orang-orang yang iseng menghitung tanggal pernikahan akan mengernyitkan dahi karena ‘anakku’ membentuk perut ibunya lebih cepat dari yang seharusnya.
“Itu akibat kalian tidak tinggal serumah, jadi mereka curiga kita sengaja menunggu anak itu lahir, padahal itu kan anakmu!” Bapak berteriak sembari menuding wajahku.
Dian terlonjak kaget. Secara refleks ia hendak berpegang pada lenganku, tapi segera kutepis.
“Pernikahan kemarin sekadar menutupi aib. Tapi nyatanya, Bapak sendiri yang membuka aib.” Aku berucap pelan, tapi pasti terdengar tajam di telinga orang tua itu.
Ia terbelalak. Tak tahu betapa aku lebih terpukul dengan gemparnya jemaah pengajianku, mengetahui aib yang tak kubuat ini.
“Kamu bilang aib? Aib, Keparat? Kenapa sebelum kalian melakukan hal buruk itu, tidak berpikir begitu?”
Belum sempat kujawab, Dian langsung sesenggukan. Ibunya segera melerai kami, lalu memangku kepala anak perempuan satu-satunya yang telah mencoreng wajah keluarga mereka dengan arang paling hitam itu.
Demi sandiwara terkutuk ini, aku duduk di sebelah Dian, sebagaimana seorang suami yang hendak menenangkan istrinya. Ibu mertuaku berlalu, menyusul suaminya yang repot mendesah dan menahan emosi.
“Tolong, Ri, biarkan mereka menganggap benar ceritaku dulu. Paling tidak sampai anak ini lahir, atau ia mati dalam kandungan.”
Nada seperti inilah yang mengkhawatirkanku. Perempuan ini sangat pandai meluluhkan baja yang kubangun berhari-hari hanya untuk mengeluarkan satu kata saja.
“Jaga ia baik-baik, jangan disakiti. Aku akan tetap bersamamu.” Kusimpan dalam-dalam, bahwa ucapan ini di hari lain harus kutebus kafaratnya.
Dian mengangkat kepala, hendak pindah sandar ke bahuku.
“Maaf, aku menjaga ceritamu. Maka, jaga pula perasaanku.”
Dian mengurungkan niatnya.
Sejak hari itu, kami tinggal bersama orang tua Dian, di dua kamar yang terpisah karena aku masih enggan bersamanya. Entah kapan aku bisa tahu benar-tidaknya keputusanku melakukan pernikahan ini. Kututupi aib seseorang, tapi justru aku yang kemudian menanggungnya. Orang tua dan saudara-saudara kandungku tak begitu peduli, karena menurut mereka, ini hal biasa. Sama seperti yang mereka tonton sehari-hari di sinetron dan infotainment.
Tapi tidak demikian dengan ‘keluargaku’ yang lain. Separuh dari saudaraku menjatuhkan vonis, yang seolah-olah mereka belum akan menerima hingga aku dihukum cambuk di depan umum. Pemimpin kajian mulai dingin, meski kutahu ia telah berusaha sekuat tenaga untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Sebisa mungkin kuhindari segala bentuk persidangan, aku tak punya nyali untuk berterus terang. Aku khawatir mereka tak sebijak yang kubayangkan. Tapi aku harus memaklumi mereka.
Dian memasuki bulan kesembilan masa kehamilannya. Semua makin tak terhindarkan. Aku terpaksa menemaninya ke dokter, olahraga pagi, dan hal-hal lain yang selayaknya dilakukan seorang suami. Aku mulai berpikir bahwa keputusanku kali ini benar-benar meleset dari kebenaran. Tapi jika sekilas kulihat ia kelelahan, aku merasa ikut letih membayangkan bila ia harus sendiri menghadapinya. Jika ia tersenyum gembira, aku ingin tertawa riang mendampinginya. Sungguh menyesakkan.
Di sisi lain, penguasa rumah terus mengasah lidahnya dengan umpatan khas seorang raja yang terpaksa memelihara kasim. Sementara orang-orang baik yang tiap pekan berkumpul dalam majelis-majelis zikir dan ilmu, seolah lupa bahwa aku adalah bagian dari mereka. Memang benar, perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, perempuan yang keji hanya untuk laki-laki keji. Itulah aku.
Hiburan satu-satunya adalah menghitung hari, hendak menyambut manusia baru yang kelak memanggilku Ayah. Ingin kusentuh perut di mana anak itu kini bersemayam. Meski ia bukan darah dagingku, tapi aku telah menyiapkan dua nama untuknya. Aku tersenyum bahagia jika membayangkan hal itu. Dan kulihat di cermin, senyum itu tulus sekali.
“Maaf, tapi aku memang tidak sungguh-sugguh ingin menikahimu. Semua hanya untuk aib itu, aku mempertanggungjawabkan pilihanku meninggalkanmu dulu.”
Dian menangis sambil mendekap bayi di pangkuannya.
“Katakan saja kita bercerai,” ucapku datar sambil berlalu.
Lalu aku tersentak. Pada hari-hari menjelang kelahiran makhluk yang kutunggu-tunggu, aku justru didera mimpi itu berulang-ulang.
Ini seperti sebuah ilham, mimpi yang ingin aku menjadikannya sebagai ide untuk masa yang akan datang. Yakni hari di mana Dian tak lagi menanggung titipan Tuhan di dalam rahimnya. Basah menguasaiku. Resah, panik, dan kemudian firasatku mengatakan Dian sedang dalam kesulitan.
Aku berlari menuju kamarnya. Benar saja, perempuan itu mengerang kesakitan. Maka secepat yang kubisa, kulakukan segala hal. Mengeluarkan mobil mertua, mengangkut semua pakaian yang telah disiapkan sejak beberapa hari lalu, dan menggendong perempuan yang pada malam ini betul-betul kukasihi.
“Seharusnya dari kemarin ia sudah menginap di rumah sakit. Jadi suami tidak becus, sudah detik-detiknya begini baru sibuk mengantarkan. Kalau mertuanya tidak punya mobil bagaimana? Untung dapat anak orang kaya.” Singa itu masih mengaum dalam keadaan genting.
Aku tak peduli.
Di dalam mobil, kubiarkan Dian menggenggam erat lenganku. Aku tak bisa berpikir, kecuali konsentrasi pada jalan raya yang kami lalui.
Anak itu lahir. Meski wajahnya sedikit menyerupaiku, namaku tidak akan terpampang di belakang binti-nya. Pekerjaan Dian bertambah, kelak saat anak perempuan ini hendak menikah, ia akan minta penjelasan kenapa ia diwalikan oleh hakim.
Inilah akhir dari sandiwara panjang yang terpaksa kulakoni. Aku akan melakukan apa yang diajarkan mimpiku, segera setelah kondisi Dian normal kembali. Kutata ulang reruntuhan baja yang berserak di dadaku. Kuuntai setiap kata paling tak menyakitkan untuknya.
Bagaimana pun, aku ingin kembali pada seluruh keluargaku dengan nama yang bersih kembali. Itu jika mereka percaya.
Aku berlatih, kutatap lekat mataku di cermin. Kukatakan pada bayangan di dalamnya, bahwa aku adalah laki-laki yang masih sendiri. Aku akan pergi, aku harus pergi.
“Maaf, tapi aku memang tidak sungguh-sugguh ingin menikahimu. Semua hanya untuk aib itu, aku mempertanggungjawabkan pilihanku meninggalkanmu dulu.”
Dian menangis sambil mendekap bayi di pangkuannya.
“Katakan saja kita bercerai,” ucapku datar sambil berlalu.
Hari itu, hampir semua yang terjadi persis dengan mimpiku. Aku berjalan tanpa menoleh, membunuh segala penghalang rasa tega.
Aku berjalan dan terus berjalan, tapi sepertinya jarak telah berbohong. Rasanya bayangan tawa dan tangis perempuan itu mendekapku. Ia tak pernah merelakanku, sebagaimana aku tidak pernah benar-benar rela kehilangannya.
Dan perempuan ini, memang telah mengikatku hingga ke sum-sum. Barangkali rusuk kiriku telah disisipkan Tuhan ke jasadnya, sejak empat bulan kami dalam kandungan. Maka aku kembali dikalahkannya.
Keren nian mbak aku nih bikin cerpen