Gundhul Pacul
Ia menyumpal lubang telinganya dengan jari telunjuk. Telapak tangan ia rapatkan ke pipi. Masih pula ia jepit siku tangannya dengan dua belah kaki.
Kadang-kadang ia diam terpejam. Sesekali tatapnya tajam dengan mata merah marah. Sebab dari perilaku ganjilnya itu ialah nyanyian lawas yang datang melagu. Bagaikan kaset yang memainkan lagu-lagu usang menjemukan. Menimbulkan kejenuhan yang akut. Atau seperti gasing yang terus-menerus berputar hingga memicu pusing. Sampai lama-lama tersiksa.
Itu merupakan lagu yang sering ia nyanyikan sewaktu kecil. Ia selalu menyanyikan lagu itu dengan ceria. Dalam bayangannya mencuat sosok jenaka. Kepalanya gundul, tingkahnya lucu dan tengil. Akhirnya ketika dapat musibah, ia tidak dikasihani melainkan ditertawakan.
Menjajaki usia remaja, ia telah singkirkan segala lagu dolanan. Ia peluk lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu. Lirik romantis yang selalu ia dengarkan sebagai pengantar tidur. Hingga kekasih khayalannya terundang untuk bersambang ke mimpinya.
Sekarang lagu dolanan itu datang kembali setelah sekian lama dibuang. Tentu saja segala hal bukanlah dadakan. Ada latar belakang. Ada rangkaian peristiwa yang mendasari.
Sabtu pagi itu sebagai Kepala Daerah, ia bersama istri mendapatkan undangan dari yayasan pendidikan anak usia dini. Ia adalah salah satu donatur pada yayasan yang memiliki visi misi mencerdaskan siswa tidak mampu itu. Namanya dipuja-puji masyarakat miskin yang merasa terbantu. Padahal sebenarnya tindakan sosialnya hanya serupa politik etis. Kepura-puraan untuk menutupi kegiatan korupsi yang ia lakukan.
Seorang bocah lelaki berbaju surjan lurik serta memakai blangkon maju ke panggung. Tingkah polos bocah yang umurnya di bawah lima tahun itu tentu saja malu-malu, lucu serta menggemaskan. Akan tetapi ketika musik mulai disetel, bocah itu dengan mantap menyanyikan lagu “Gundhul Pacul”.
Wajah mungil bocah itu benar-benar bercerita saat bernyanyi. Seolah-olah bocah itu ingin menyampaikan dan menyalurkan keceriaan dari lagu yang ditembangkannya pada penonton. Benar saja, semua penonton tergugah. Mereka memberikan tepuk tangan yang meriah seusai anak itu menyelesaikan bait lagunya. Seluruh penonton terhibur.
Tidak terkecuali ia yang duduk di barisan terdepan. Kepala Daerah yang tiga tahun silam dipercaya masyarakat untuk memimpin. Menjadi kepala yang diharapkan sanggup menyunggi beban menuju tujuan yang diinginkan.
Sepulang dari acara di sekolah itu, semuanya masih tampak wajar-wajar saja. Hingga tiba, istrinya merasa jenuh dengannya yang sibuk dengan ponsel. Istrinya kemudian meminta sopir menyalakan musik.
“Huh, lagu ini lagi! Ganti!” ujarnya geram pada sopir.
“Apa yang salah? Ini lagu favorit kita berdua,” tukas istrinya kaget.
“Lagu favorit kita? Omong kosong macam apa ini? Bukannya kamu baru mendengarnya hari ini? Lagi pula, memang kamu tahu artinya?” tanyanya pada sang Istri.
“Jelas saja tahu. Bahasa Inggrisku lebih jago dari kamu!” tegas istrinya sengit.
“Inggris? Apa maksudmu? Jelas-jelas aku sedang membahas lagu bahasa Jawa ini!” sahutnya bingung.
“Jawa? Ha ha ha. Tidak lucu,” istrinya dongkol.
“Matikan musiknya!” serunya memerintah sopir.
“Matikan musiknya aku bilang!” gertaknya lagi kala lagu itu masih berdengung di gendang telinganya.
“Sudah saya matikan, Pak!”
“Kurang ajar kamu! Matikan musiknya sekarang!” murkanya tak tertahan lagi. Hampir saja ia memukul sopirnya jika tidak dihentikan sang Istri.
Itulah kronologi dari peristiwa aneh yang dialaminya. Sejak saat itu; pagi, siang, malam, secara misterius lagu dolanan itu acap berdengung di gendang telinganya. Dokter THT hingga dokter kejiwaan sudah memeriksanya tetapi hasilnya nihil. Tidak ada kelainan pada dirinya. Antidepresan sudah rutin diminumnya tetapi tetap saja ia tidak pernah tidur nyenyak. Suara nyanyian itu kerap datang pada waktu-waktu tertentu.
Gundhul-gundhul pacul cul gembelengan. Nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan….
Lagu itu berdengung lagi di gendang telinganya. Lebih keras dari biasanya. Laksana tawon marah yang siap menyerang.#
Sumber gambar: freepik.com