Gerimis Tipis
Gerimis tipis belum jua habis. Mulut Andini mendesis. Wajahnya meringis. Tubuhnya meringkuk di sofa panjang bercorak garis. Ia pegangi perutnya yang terasa diiris-iris. Rasa sakit yang menderanya makin tak kompromis. Pada akhirnya ia sedu-sedan menangis.
Gerimis jarang-jarang masih berdendang. Bermula mendung di pagi hari yang menjelma rintik hingga siang. Andini meratap dalam keluh panjang. Ia harap ada seseorang yang datang. Namun tak ada seorang pun di dalam rumah itu kecuali Andini seorang.
Ayah sudah seminggu tak menginjak rumah. Pekerjaannya sebagai mandor proyek membuat waktu untuk keluarga terjarah. Lebih mudah bagi ayahnya itu bertahan di lokasi tanpa pindah-pindah. Sebagai kepala proyek, ayahnya harus memastikan proyek berjalan tanpa masalah.
Sementara mama sejak subuh tadi sudah berdandan menor. Ia pergi tanpa pamit pada putrinya yang masih molor. Sepanjang hari sepanjang waktu mama dedikasikan untuk pekerjaan kantor. Tak pernah mama menyentuh kompor. Apalagi baju kotor.
Gerimis sudah berakhir. Andini mengusapkan minyak angin di perutnya yang sekarang terasa dipelintir. Andini menjerit ketika tiba-tiba terdengar salakan petir. Refleks Andini telungkup di sofa sambil menggigit bibir. Hati Andini tambah-tambah nelangsa tiap kali mengingat di saat sakitnya tak ada orang yang menjaganya dengan rona khawatir.
Bagi Andini ini hari minggu yang paling buruk. Berawal dari sarapan hanya berlauk kerupuk. Entah salah makan atau apa setelah itu mendadak perutnya berkeruyuk. Berkali-kali ia keluar masuk toilet membuatnya bagai orang mabuk.
Olesan minyak angin sedikit meredakan sakit. Hangatnya merambat hingga pori-pori kulit. Lambat-lambat perih yang didera Andini tak lagi menjangkit. Hanya kadang tiba-tiba serasa ada yang menggigit.
Andini tertidur pulas dengan memeluk boneka. Ia tak dengar derit pintu depan terbuka. Rupanya Tante Sarah datang dengan membawa makanan beraneka. Semua dimasak sendiri oleh Tante Sarah dengan bumbu suka-suka.
“Loh kamu tidur di sini Andiniku yang imut?” Tante Sarah bersujud dengan ekspresi terkejut. Ia pegangi dada Andini yang lemah berdenyut. Dahi Tante Sarah mendadak berkerut.
“Keningmu panas,” kata Tante Sarah dengan nada cemas. Ia khawatir kepada keponakannya yang terkulai lemas.
Andin merengut. Sebelah tangannya menghalau selimut dengan sikut. Lunglai tubuhnya beringsut.
“Mama belum pulang ya, Tante?” tanya Andini bete.
“Mama bilang harus lembur,” jawab Tante dengan senyum menghibur.
“Kamu demam. Tante akan kompres agar panasnya segera redam.” Tante beranjak ke dapur yang kelam. Menyalakan lampu bohlam.
Sendirian membuat Andini menangis. Rasa kecewa dan sedih tak bisa ditangkis. Merenungi garis hidup yang tragis. Ayah dan mama tak pernah memberi perhatian romantis. Mereka sibuk dengan bisnis. Keduanya menjelma sosok hedonis.
Sejak usia setahun Andini sudah dimasukkan penitipan. Diantar pagi dan dijemput mama sepulang dari pekerjaan. PAUD, TK, SD dipilihkan yang sistemnya full day sebagai solusi atas permasalahan. Ayah dan mama selalu banyak urusan. Lalu SMP Andini didaftarkan ke pondok pesantren yang liburnya sekali dalam sebulan. Menginjak SMA dirinya mengadakan perlawanan. Teguh dirinya mengatakan akan mengurus diri sendiri tanpa merepotkan. Sering terpikir kelahirannya bukan anugerah dari Tuhan. Melainkan titipan yang membuat ayah dan mama kesusahan. Jika tak menginginkannya mengapa harus ada pernikahan? Lalu untuk apa dirinya dilahirkan?
Tante Sarah membawa waslap dan air es dalam mangkuk merah. Andini terbaring pasrah. Waslap dicelup lalu diperah. Ditempelkan ke dahi Andini tanpa keluh kesah. Kedekatan fisik itu membuat Andini bisa mencermati tantenya secara mudah.
Rambut hitam tebal, alis lebat, mata bulat, hidung mancung, bibir seksi adalah gambaran kecantikan asli tanpa imitasi. Selain itu Tante Sarah miliki segudang prestasi. Baik di bidang olahraga, seni maupun akademisi. Tawaran pekerjaan datang silih berganti dari perusahaan bergengsi. Namun Tante Sarah justru memilih penulis lepas sebagai profesi.
Kakek dan nenek panjang lebar memberi ceramah. Keduanya menyayangkan orang sepandai Tante Sarah hanya bekerja dari rumah. Benar-benar keputusan yang sulit diterjemah. Kemudian Tante Sarah mampu meyakinkan kakek dan nenek dalam suatu musyawarah. Namun bagi ayah, mama dan Andini, idealisme Tante Sarah tetaplah parah. Apalagi terkait pertimbangan panjangnya tiap ada yang mengajak menikah.
“Tante sudah mengenal banyak pria dan pemikirannya. Pula tidak sedikit pernikahan telah Tante lihat arah berlayarnya. Tante tidak mau gegabah memilih teman hidup tanpa melihat visi misinya. Tante tidak mau terjebak di pernikahan yang sama seperti lainnya. Di mana anak-anak menjadi korbannya.”
Ya, dulu Andini sama sekali tak memahami jawaban itu sebagaimana yang lainnya. Akan tetapi sekarang Andini sangat paham sepaham-pahamnya. Menikah bukan hanya soal perempuan dan laki-laki yang hidup serumah dengan status yang mengiringinya. Lebih dari itu harus ada visi misi yang diusungnya. Misal Tante Sarah yang punya prinsip ingin mengasuh sendiri anak-anaknya kelak dengan kemampuannya. Sehingga Tante Sarah memilih pekerjaan yang bisa mendukung impiannya.
Gerimis tipis turun lagi. Tersulut dendam Andini memegang sebuah ideologi. Ia tak ingin mengulang kesalahan ayah dan mama yang telah menyiksanya secara psikologi. Ia akan menjadi orang tua yang berdedikasi hingga buah hatinya tak akan pernah merasa merugi.#
Sumber gambar: freepik.com