From BEM With Love
Jatuh cinta? Apa sih jatuh cinta itu? Perasaan menggebu-gebu ketika melihat seseorang yang kita suka? Perasaan cemburu ketika kita melihat orang terkasih mengobrol dengan lawan jenisnya? Atau perasaan ingin memiliki yang sangat kuat sehingga membutakan logika? Well, bagiku jatuh cinta itu sesuatu yang tidak akan pernah lagi mau aku rasakan. Fine, awalnya memang selalu indah. Semua terlihat bagai warna pastel. Lembut. Nyaman. But, setelah melewati tiga bulan perjalanan kisah kasih , mulailah warna pastel itu berubah menggelap dengan sendirinya. Last, berujung pada kegelapan yang diwakili oleh warna hitam.
So..Enough!
No..More…Fall in Love!
“Jingga!” Aku menoleh tatkala sebuah suara nyaring memanggil namaku.
“Hai Nanda!” sahutku sambil melambaikan tangan.
“Udah lama nih nunggunya? Maaf ya aku ada urusan tadi.” Ujarnya dengan wajah bersalah.
“Ih..biasa aja kali. Baru juga nunggu 15 menit.” Balasku.
“Jadi gini, Ga. Aku kemaren mengusulkan nama kamu untuk masuk dalam susunan kepengurusan BEM Universitas. Kan selama ini kamu aktif di BEM Fakultas, nah sekaran istilahnya naik kelas” Jelas Nanda panjang lebar yang membuatku tertegun.
“Serius?” Aku memegang kedua lengannya dan menatapnya.
Nanda tergelak. “Stop…stopp! Ekspresi apa itu?”
“ Ekspresi kekagumanku karena punya teman yang baik dan sekreatif kamu” jawabku sok puitis yang semakin membuatnya tergelak.
“Terus…terus…aku masuk nggak di BEM Universitas?” tanyaku berapi api.
“Nah…” Nanda menggantung kalimatnya. Lalu menekuk wajah , tanda kesal.
“Masuk nggak nih? Percuma dong punya teman aktivis yang beken tapi aku gak bisa masuk BEM Universitas” omelku, lalu ia mencubitku.
“Heh….kamu tuh, ya! Aku kan Cuma mengusulkan. Keterima atau nggaknya ya tergantung kualitas kamu.” Rajuknya.
“Jadi aku keterima nggak?” Selidikku.
“Of Course…Jingga! Siapa sih yang nggak akan menerima seorang penyiar radio multi talent kayak kamu? Keterima dong! Kamu masuk departemen Infokom, “Informasi dan Komunikasi”. Nah…pas banget, kan?” Nanda langsung memelukku.
“Masyaallah! Aaaaaaaa!” Teriakku histeris.
Nanda reflek membekap mulutku. “Tapi jangan bikin malu juga, Jingga!” Repetnya.
Aku menunjukkan jempol dan nanda melepaskan tangannya dari mulutku.
“Aku harus ngapain sekarang?” Tanyaku dengan semangat 45.
“Hm, nih” Nanda menyodorkas secarik kertas. “Telepon tuh Menteri departemen infokom. Namanya Aksa. Tanyain nanti kan rapat perdana, masa kalian nggak kenalan dulu?”
“Iya yah, kan kalau tabrakan di jalan, nggak saling kenal yang ada adu mulut ,dong” aku terkikik sambil menyimpan nomor telepon yang diberikan oleh Nanda.
“Gih, telepon cepat!” Nanda menyikutku.
Aku menekan tombol calling berwarna hijau di ponselku. Tiga kali panggilan dan belum diangkat membuatku frustasi. Aku melirik ke Nanda yang sedari tadi asyik dengan headsetnya.
Aku melakukan panggilan ke empat.
“ Halo” Detak jantungku seolah terhenti ketika mendengar suara di seberang.
“Ehm, i…iya ha…halo. Aksa?” Terbata aku membalas sapaan suara pria yang terdengar renyah di gendang telingaku.
“Saya sendiri. Siapa ya?” tanya suara tersebut .
“Jingga. “ Jawabku singkat.
“Jingga?” tanyanya lagi bingung. Aku menepuk keningku. “Ya mana tahu dia aku siapa. Aku kan belum memperkenalkan diri.” Batinku.
“Iya, aku Jingga staff Infokom” Aku menjawab dengan cepat.
“Oh…iya, iya. Nanti kita ketemu ,ya. Rapat Perdana.” Ujarnya lagi.
Aku mengangguk, lalu kusadari ia tidak akan bisa melihat anggukkanku. “Oke, Nanti kita ketemu. See You” Tuturku sebelum aku mematikan telepon.
“Huff…kenapa ada desir desir aneh ya ?Masa sih cewek kulkas seperti aku jatuh cinta cuma gara gara dengar suaranya di telepon?No..jangan! Jatuh cinta terakhir memberikan luka cukup dalam. Sembuhnya pun lama. Aku sudah berikrar tidak akan jatuh cinta lagi! Titik!” Aku megalami peperangan batin sesaat setelah mendengar suara Aksa.
“Lah, bengong!” Sindir Nanda.
“Hah?” Aku tersadar, lalu menghela nafas. “Baiklah, ayo kita ke sekre BEM” Aku menggandeng tangan Nanda.
Sepanjang perjalanan aku berusaha menkondisikan debur jantungku yang semakin dag dig dug tak beraturan. “Come on Jingga, ini cuma ketemu Menteri BEM bukan ketemu artis ibukota” Aku berusaha menenangkan diri.
Aku langsung mengambil tempat duduk di sebelah Nanda ketika tiba di Sekre BEM. Sementara yang lain sibuk saling memperkenalkan diri, bercanda dan saling bertukar email dan nomor telepon, aku sibuk mencari cari sosok Aksa. “Yang mana sih yang namanya Aksa “ aku semakin penasaran.
Nanda menatapku curiga. “Kamu kenapa? Kayak uget uget, deh.”
Aku menyeringai. “Aksa tuh yang mana sih?” Tanyaku. Nanda memberikan pandangan aneh ke arahku. “Cuma nanya, Nan. Nggak boleh?” Kilahku, karena aku tahu arti tatapan Nanda.
“Aku ikut senang lho, kalau kamu pada akhirnya kembali membuka hati.” Ia menaikturunkan alisnya.
Aku memasang tampang kesal.
“ Ehm, apaan sih!” Aku mengalihkan pandanganku dari tatapan Nanda.
“Cakep lho anaknya” Nanda menarik wajahku dengan kedua tangannya, hingga pandanganku bertemu dengan tatapannya. “Pintar, jago orasi, baik , dan belum punya pacar.” Selorohnya.
“Hahaha…iya, iya. Stop it, please! Seram!” Aku melepaskan tangan Nanda dari wajahku.
“Biasanya dia datang sama Dewangga, sahabatnya. Aksa yang kurus, Dewangga yang gempal. Ingat tuh ya, jangan salah manggil” Nanda mencubit pipiku gemas.
“Oke, jadi aku harus mengawasi siapa saja yang baru datang ke ruangan rapat dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan Nanda. Dua orang pria. Satu kurus, satu gempal. Aksa yang berbadan kurus, yang gempal adalah sahabtanya, yaitu Dewangga” Aku menyimpan informasi berharga itu ke dalam otakku.
Selang beberapa waktu, dua pria dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Nanda muncul. Mereka lngsung duduk tepat berhadap – hadapan denganku. Aku melihat mereka berdua berbisik-bisik, lalu tertawa. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Tunggu…tunggu…! Terlihat akrab atau mesra ya? Jadi curiga, nih.
Tiba tiba pandanganku bertemu dengan Aksa. Aku langsung memalingkan wajah, pura pura melihat Nanda yang sedang asyik memamerkan keahliannya berbahasa Inggris. Namun saat ini, aku merasakan wajahku panas. Pelan namun pasti, aku kembali mengamati dua pria tadi. Lagi-lagi aku bertemu pandang dengan Aksa. Kali ini aku tidak bisa mengelak. Lama aku terpaku, sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum paksa. Ia tertawa melihat tingkahku, lalu kembali berbisik ke Dewangga. Dewangga melihat ke arahku , kemudian ia tersenyum manis. Aku membalas senyuman Dewangga dengan tatapan siniss dan tawa Dewangga seketika pecah. Seisi ruangan melihat ke arahnya, sementara aku berusaha setenang mungkin.
Ketika rapat berlangsung, tak satu pun dari isi rapat yang masuk ke dalam otakku. Aku sibuk pura-pura tidak menyadari jika kedua pria tadi mengawasiku. “Ihhhh…kenapa sih kedua makhluk yang berejenis laki laki itu bikin aku kesal?” batinku. Aku mencuri-curi pandang ke arah mereka berdua, dan setiap kali tatapan kami bertabrakan, mereka berdua langsung tertawa.Ya Tuhan…kelihatan banget ya rasa penasaranku ini?. “Pipiku pasti kayak udang rebus.” Gumamku pasrah.
“Jadi sampai disini dulu rapat kita hari ini” Fajrin, selaku Ketua BEM Universitas mengakhiri rapat. “ Saya rasa karena ini baru rapat perdana, belum ada pertanyaan terkait program kerja. Jadi rapat selanjutnya akan kita bahas mengenai kemajuan program setiap departemen” Ujarnya lagi. “Baiklah, akhir kata wassalamualaikum. Maju bersama untuk peradaban lebih baik!” Ia menutup rapat dengan slogan yang mirip kampanye kepala daerah, lalu bergegas keluar ruang rapat diiringi anggota yang lain.
Aku tetap duduk dikursiku sambil memandangi baterai ponselku yang hanya tinggal 5 %. Sambil memegang charger, aku mencari stop kontak. Nanda yang melihat aku kebingungan lalu menunjukkan stop kontak di ujung ruangan. Aku mengangguk berterima kasih, kemudian menuju stop kotak yang ternyata….goyang. Agar daya listriknya tetap masuk ke ponselku, aku harus memegangi charger-nya.
“Hai” Tanpa kusadari Aksa telah berdiri di sampingku. Aku mendadak hilang konsentrasi. Jantungku seolah mau copot. Aku mengatur nafasku yang mulai tak karuan. Untuk mengurangi rasa terkejutku, aku berusaha tersenyum lebar, lalu memberikan isyarat ke Aksa untuk memegangi charger. Aksa tersenyum. “Sial! Itu senyum kok manis banget, sih!” Rutukku dalam hati. Ia lalu mengambil charger dari tanganku dan menghubungkan ke stop kontak.
“Aku Aksa” Ia kembali memamerkan senyumannya.
“Jingga” aku berusaha acuh tak acuh.
“Itu Dewangga” ia menunjukk sahabatnya dan ketika aku menoleh, Dewangga melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan anggukan.
“Pulang sendiri?” Tanya Aksa. Aku mengangguk lagi. Entah kenapa tiba-tiba bibirku kelu untuk mengucapkan kata kata.
“ Mau dianterin?” tanyanya lagi dan aku spontan menggeleng.
“Ya udah, kalau nggak mau. Eh, besok kita rapat departemen ya disini. Jam 2 tepat. Nggak boleh telat!” Ia lalu menyerahkan charger ke diriku. “Tapi besok ponselnya di charge dulu biar penuh!” Ejeknya, lalu ia berlalu dari hadapanku.
Aku terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika sekali lagi pandangan kami bertemu, ada satu perasaan sejuk yang mengalir dalam hatiku. Ada bisikan syahdu yang menjanjikan sebuah ikatan. Dan pada akhirnya aku tersenyum tipis dan berkata pada diriku sendiri “Welcome…calon pacar”