Dear Disya
Hujan datang beringas. Disusul orang-orang berlarian ke teras. Emperan pertokoan, rumah-rumah dan gedung disesaki orang berteduh. Disya ikut merapat dalam barisan orang-orang yang bersedekap tangan menahan dingin yang dihembus hujan dadakan sore itu.
Disya menggenggam kantong plastik yang disembunyikannya di balik badan. Ia jaga benar kantong plastik hitamnya agar terhindar dari jilatan lidah hujan.
Ah, karena kantong plastik itulah ia bertemu hujan. Andai tadi ia tak turun dari taksi demi mengejar gerobak keripik singkong, ia pasti sudah ada di kediaman Tisa sekarang. Tapi ia tahu, betapa sukanya Tisa pada keripik singkong. Dan ia bisa membayangkan ekspresi senang sahabatnya kala menyantap keripik singkong itu nantinya.
Disya menghela nafas. Hujan tak kunjung berhenti justru makin deras. Disya gundah membayangkan Tisa yang pasti tengah menunggunya dengan khawatir sementara ia tak bisa mengabari. Ponselnya tertinggal di rumah.
***
Bruk. Kripik singkong terjatuh. Dua kepala yang tadi bercumbu menoleh pada sumber suara. Disya berdiri mematung dengan ekspresi tak terdefinisikan. Sementara itu kripik-kripik singkong bertebaran di lantai.
“Dis, Disya, ini tidak seperti yang kamu kira…” terbata-bata Redo melontarkan kata. Disya berlari kabur.
Redo melangkah lebar mengejar Disya sedangkan Tisa hanya mampu menunduk. Menyembunyikan tanduk pengkhianatan.
***
Disya berlari. Terus berlari. Ia tak peduli hujan yang mengguyur tubuh. Ia tak peduli klakson-klakson yang menjerit padanya. Ia tak peduli teriakan dan makian orang.
“Ya, ampun … Disya!” seru Bayu, panik. Gegas ia mengambil handuk untuk menghangatkan Disya yang kuyup.
Disya menampik handuk yang ditawarkan oleh karyawan bengkel ayahnya. Tersaruk-saruk ia berjalan masuk ke rumah. Bayu menggelengkan kepalanya. Ia kemudian mengekor langkah Disya. Mengawasi kalau-kalau Disya pingsan.
“Patah hati itu hal yang lumrah. Bersedih boleh tetapi sewajarnya saja,” seloroh Bayu. Disya mematikan langkah. Wajahnya memerah.
“Tidak usah ikut campur!” tukas Disya sengit.
“Ayahmu sudah memberi amanah padaku untuk menjagamu,” balas Bayu kalem.
Disya membuang wajah. Lunglai ia berlalu menuju kamar.
***
Langit malam cerah. Bintang-bintang berkedip genit sementara rembulan membulat senyum. Disya termenung di taman belakang. Setengah jarinya tercemplung ke kolam, bermain dengan ikan-ikan peliharaan ayahnya.
“Ayo ikut aku!” Bayu tiba-tiba datang dan menarik tangan Disya.
“Tidak mau!” Disya menolak ajakan paksa dari pria yang dijodohkan ayah untuknya.
“Ayahmu yang menyuruhku,” ujar Bayu memberi alasan.
Demi mendengar itu, Disya menurut. Ayah adalah segalanya bagi Disya setelah ibunya meninggal dan setelah pacar dengan sahabatnya berselingkuh.
Disya membonceng motor bebek Bayu. Disya tidak mau tahu Bayu akan membawanya ke mana. Pikir Disya paling juga ke kedai kopi atau restoran. Namun saat motor Bayu menepi ke tempat pengungsian korban banjir, tak urung Disya terbengong-bengong.“
Mengapa kamu mengajakku ke sini?” Disya bertanya penasaran.
“Agar kamu lebih bersyukur,” bijak Bayu menjawab. Disya menyeringai.
“Lihatlah anak-anak itu!” Bayu menunjuk pada kerumunan anak pengungsian yang tengah bermain-main riang dengan kaki telanjang. Disya menyapukan padangan pada anak-anak malang di kejauhan.
“Mereka baru saja kehilangan rumah, sandang, peralatan sekolah mungkin anggota keluarganya. Namun mereka tidak merasa dunia telah berakhir. Mereka tahu hari esok harus dihadapi. Mereka yakin setelah badai akan ada hari cerah. Itulah yang disebut harapan. Dan kamu tahu? Harapan adalah harta paling berharga,” tutur Bayu.
Seketika Disya tertampar. Merahnya malu melumuri wajahnya. Tangisnya kemudian pecah kala menyadari bahwa drama hidupnya tidak seberapa dibanding anak-anak korban banjir.
“Loh kok malah menangis!” hardik Bayu.
“Aku menangisi kebodohanku,” jawab Disya sambil tertawa di sela tangisnya. Penuh perhatian Bayu kemudian menghapus air mata di kedua pipi Disya.#
Sumber gambar: freepik.com