Bukan Pengemis
Sore di taman kota. Kadar panas matahari sudah jauh lebih bersahabat dibanding saat siang laknat tadi. Tatkala pijar matahari seolah-olah hendak membakar bumi dan seisinya. Semilir angin yang sesekali berembus cukup berjasa mengipasi gerah yang merajalela. Duduk menggelongsor di trotoar, kau mengelap wajahmu yang bermandikan keringat. Beberapa teguk ludah kau paksakan memasuki kerongkongan kala menyaksikan pembeli yang memadati kios es degan.
Sebuah motor melintas pelan di depanmu. Seorang pria dewasa bersama balitanya. Tebakmu, pasti ia seorang ayah muda yang tengah mengajak jalan-jalan buah hatinya. Wajahmu yang semula takjub tiba-tiba diserbu kalut kala matamu mendapati kain gendongan bayi yang menjuntai ke bawah.
Mengenali bahaya, kau coba berteriak-teriak untuk memberi peringatan kepada ayah muda itu. Namun entah tidak mendengar atau tergesa-gesa, pengendara motor justru mempercepat laju motornya.
“Susul saja dengan sepeda motorku ini, Pak. Kasihan kalau sampai terjadi apa-apa,” seorang penjual mainan mengangsurkan kunci motornya.
Tanpa berpikir lagi, kau memacu motor yang diamanahkan kepadamu dengan sepenuh kepercayaan itu. Mengejar ayah muda dengan bayinya yang sedang dibayangi bahaya. Demi memaksimalkan upaya, kau berteriak-teriak memberi peringatan. Sampai-sampai suaramu serak.
Setelah kejar-kejaran, akhirnya ayah muda itu berhenti. Belum sempat mengungkapkan maksudnya, ayah muda tersebut mendadak marah-marah. Jelas saja kau bingung dan linglung.
“Maksud Bapak apa mengejar-ngejar saya seperti tadi? Lihat saya sedang bawa anak, Pak! Bahaya itu!”
“Ini tadi saya…..” belum juga sempurna kalimatmu, sudah dipotong dengan cepat.
“Bapak ini yang sering mangkal di taman kota kan? Bapak mau minta uang? Mengemis? Benar-benar Bapak tidak punya malu.”
“Saya…..”
“Serupiah pun tidak akan saya berikan ke Bapak. Karena Bapak sudah hampir membahayakan nyawa saya dan anak saya yang masih kecil!” tandas ayah muda itu dengan pongah.
Ayah muda itu berlalu meninggalkanmu yang ditelikung situasi. Sambil menggendong balitanya, ia melenggang masuk ke rumah. Sedangkan bawahannya disuruh memasukkan motor. Lalu gerbang buru-buru ditutup.
Kau bangun dari keterkejutanmu. Kau usap-usap dadamu dengan mengucap sabar. Namun tak urung ketika motormu membelah jalanan, murung dengan sendirinya hadir merambati romanmu.
“Apakah aku bertampang seperti pengemis?” tanyamu bertubi-tubi pada hati kecilmu.
Memang tidak kau mungkiri, beberapa teman maupun kenalanmu di jalanan menyarankan agar kau jadi pengemis saja. Katanya dengan mengemis, kau akan lebih mudah mendapatkan uang. Bahkan penghasilan yang kau dapatkan akan jauh lebih besar. Alasannya lagi orang-orang akan cepat mengasihanimu lantaran umur dan perawakanmu.
Rambut putihmu yang mendominasi kepala, tubuhmu yang kurus kering dengan tulang-tulang yang menonjol, pasti akan mengundang orang-orang untuk menyedekahimu.
Petang jelang magrib, sesampai di rumah sepulang jadi juru parkir sekaligus memulung botol minuman di taman kota, kau masih saja kepikiran cacian ayah muda tadi sore.
“Orang boleh bilang Bapak bertampang pengemis tetapi yang penting hati Bapak tidak,” istrinya berseloroh lembut sambil mengangsurkan sarung. Mengingatkannya agar segera mandi karena magrib hampir tiba.#
Sumber gambar: freepik.com