Bukan Juliet
Layakkah pengorbanan hingga kematian yang dijemput Romeo dan Juliet ditasbihkan sebagai cinta sejati yang patut diteladani oleh insan yang saling mencinta?
***
Malam menanjak tua. Sekarang telah pukul dua puluh dua. Gulita merambah seantero kamar Sukma. Namun pancaran sinar dapat direngkuhnya dari cara yang tak terduga.
Sukma duduk di tepi jendela. Memandang keluar pada mobil, lampu-lampu, pula papan iklan yang bercahaya. Ia berharap terangnya dapat menuntunnya pada jawaban atas segala tanda tanya.
Seumur-umur hidup Sukma, tak pernah sebelumnya ada sosok istimewa selain keluarganya. Sebelumnya, cinta dalam hidupnya hanya terpaku pada ayah dan bunda. Lalu tanpa diduga-duga datang pangeran tampan seperti pada buku cerita. Menawarkan menggandeng tangan Sukma menuju taman suka cita. Sungguh hal demikian itu merupakan dunia baru untuknya.
Sukma yang pendiam memang sangat membatasi pergaulan. Selalu ia tidak memiliki sahabat akrab di sekolahan. Serta ia lebih menyukai menghabiskan waktu di rumah ketimbang keluyuran. Ia adalah anak patuh yang menjadi kesayangan.
Semuanya bermula kala istirahat pertama tiga bulan lalu. Sukma pergi ke perpustakaan untuk membuat rangkuman pelajaran.
“Boleh aku duduk di sampingmu?” tiba-tiba seorang siswa rupawan menyapa Sukma.
“Silakan saja. Belum ada yang menempati,” jawab Sukma singkat kemudian melanjutkan aktivitasnya.
“Kamu kelas XII IPS juga?” tanya siswa itu ramah. Sukma menanggapi dengan anggukan.
“Namaku Jiwa. Aku siswa pindahan,” siswa itu mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Dingin Sukma menyambut jabat tangan itu.
“Bolehkah aku berdiskusi pelajaran denganmu? Aku sangat ketinggalan. Aku tidak punya pilihan selain harus mengejar dengan cepat.” Jiwa tanpa malu berterus terang tentang kondisinya. Hal itu membuat Sukma terpana.
Jiwa tampak siswa yang jujur. Tanpa kepura-puraan. Juga Jiwa sepertinya mudah bergaul. Baru saja mengenal Sukma tetapi siswa itu seolah-olah merasa akrab. Bahkan Jiwa tidak mundur walau terus disuguhi muka judes Sukma.
Maka pada hari-hari selanjutnya, Jiwa selalu menghampiri tempat duduk Sukma di perpustakaan. Lambat laun Sukma harus berlapang dada menerima kutukan peribahasa Jawa: witing tresna jalaran saka kulina.
Hingga kemudian puncak dari keintiman itu adalah sebuah ungkapan perasaan di pekan kedua sejak pertemuan. Sepulang sekolah hari itu, dengan percaya diri Jiwa menyatakan cinta pada Sukma. Terang saja, gadis penyendiri itu tak bisa berkata-kata. Lantas secara dominan Jiwa memberi tenggat waktu dua hari bagi Sukma menjawab. Sukma serasa terintimidasi.
Dua hari berselang, ketika bel pulang berdentang, hati Sukma masih diselimuti bimbang. Sukma berencana melarikan diri dari penagih jawaban.
Lekas Sukma mencangklong tas. Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, ia berlari menuju mulut kelas.
Tak bisa berkelit. Jiwa telah mencegatnya. Sukma akhirnya pasrah digelandang menuju belakang gedung sekolah. Hasil kesepakatan bersama mengukuhkan keduanya menjadi sepasang kekasih.
Sukma banyak berubah sejak berpacaran dengan Jiwa. Ia jadi suka dandan, sering terlambat pulang, dan mulai berani berbohong pada ayah bunda. Untungnya, Sukma masih bisa mempertahankan prestasi belajarnya.
Tugas dobel yang mesti dikerjakan Sukma, mau tak mau memacunya lebih giat. Ia tak keberatan mengerjakan tugas milik Jiwa lantaran kekasihnya itu dituntut fokus di grup band yang baru merintis karier.
Hingga tibalah hari yang tidak disangka-sangka. Kasus korupsi yang melibatkan papanya Jiwa menyeruak lalu merambah media.
Derasnya kasus bagai air bah yang tiada terbendung. Lantas papa Jiwa dan kroni-kroninya diseret ke sel penjara.
Rasa Sukma sama sekali tak terimbas oleh kasus itu meski papanya Jiwa telah ditetapkan sebagai tersangka. Masalahnya jadi lain ketika salah seorang jaksa penuntut adalah ayah Sukma.
“Benar kamu berhubungan dengan Jiwa Putra Suwito?”
“Iya, Yah.”
“Kamu harus mengakhirinya!”
“Jiwa adalah Jiwa. Dia bukan papanya!”
“Ayah tahu itu. Tapi kamu tidak bisa mengingkari bahwa Jiwa anak seorang koruptor. Sedang kamu ini anak ayah. Kamu tidak lupa bukan siapa ayahmu ini?”
“Ya. Ayah orang yang paling anti terhadap koruptor.”
“Nah, kamu tahu itu. Jadi jangan coba-coba mengubah keputusan ayah.”
***
Entah baru berapa detik Sukma memejamkan mata. Ada yang mengusik indera pendengarannya. Ia beringsut dari ranjang menuju arah suara.
Sukma menyibak korden. Ia terkesiap. Untung saja ia belum berteriak lantang karena Jiwa segera memberikan isyarat dengan telunjuk yang menempel di belah bibirnya.
“Papaku punya rumah singgah di luar kota. Tempatnya sangat terpencil. Kamu mau bukan ikut denganku?” bisik Jiwa sembari meremas jemari Sukma.
Sukma terdiam. Matanya menjelajah lekat Jiwa dari ujung ke ujung.
“Sukma, kamu cinta aku bukan? Kamu mau kan bersamaku?”
Sukma masih pada keterdiamannya. Binar-binar matanya menampakkan dilema.
“Sukma, kumohon ikutlah denganku.”
“Aku sangat mau bersamamu tapi … tidak seperti ini caranya.”
“Tidak ada cara lain, Sukma!”
“Tapi kamu belum mencoba.”
“Waktu kita tidak banyak. Kamu harus segera memberikan keputusan. Ikut denganku atau kita berpisah selamanya,” ucap Jiwa mengintimidasi.
Jiwa tak bedanya sebagai seorang pesakitan yang mengidap penyakit menular. Ia tak punya kepercayaan diri lagi dalam berinteraksi dalam masyarakat. Keluarganya koyak sejak kasus korupsi papanya menjadi berita. Maka melarikan diri dijadikannya sebuah pilihan.
Yang dipunyai Jiwa hanya Sukma. Orang yang masih berdiri tegap di sampingnya untuk mendukung. Ia telah bertekad membawa Sukma pergi sebelum pujaan hatinya itu ikut terkontaminasi menjauhinya.
“Aku tak bisa meninggalkan keluargaku.”
“Aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
“Aku … aku bukan Juliet, Jiwa. Ada keluarga yang tak bisa kutinggalkan begitu saja hanya karena cinta. Ada cinta lain di antara cinta kita. Dan cinta lain itu sudah kurasakan jauh sebelum aku mengenal cintamu. Tidak lain, tidak bukan, ialah ayah bundaku.” Dengan berat hati Sukma membuat keputusan. Ia tarik korden jendela agar hatinya tidak goyah melihat kepergian Jiwa.#
Sumber gambar: freepik.com