Bucin
Aku sedang kesal! Rasanya aku ingin memborong semua jajanan yang lewat di depan rumahku karena kekesalanku sudah level dewa. Di hadapanku kali ini, seorang Annisa sedang menangis tersedu-sedu. Annisa yang sempat menjadi bintang kampus, selalu jadi kebanggaan keluarga dan bahkan aku sebagai sahabatnya dari kecil, mengucurkan air mata gara-gara satu pria yang tidak tahu diri bernama Bagas.
Bagas ditangisi! Sudahlah kegantengannya hanya dapat poin 6,5 dan itu pun 1,5 nya karena dia tidak pernah absen membawakan martabak telur untuk kedua orang tua Annisa. Kaya juga nggak! Pintar? Halah … apalagi! Bisa-bisanya si Annisa merelakan bedak dan maskaranya luntur untuk seorang pria yang sangat biasa-biasa saja. Lalu aku teringat bahwa sebiasa-biasanya Bagas, dia adalah suami sahabatku.
“Ehm ehm!” aku berdehem agar Annisa memperhatikanku. Cara ini ternyata cukup jitu untuk menghentikan tangisannya sejenak. “Sudah, hapus tuh air mata. Nggak sayang apa sama bedak mahal seharga beras 20 kilo?” Aku menyodorkan sekotak tisu untuknya.
Ia mengambil tisu dari tanganku, namun tangisnya masih bersisa.
“Bagas kenapa?” tanyaku lembut.
Ia menatapku ragu.
“Udah, cerita aja. Biasanya juga kamu ada apa-apa langsung nyerocos, kok,” ujarku ketika melihat keraguan di matanya.
“Bagas nggak pulang-pulang ke rumah,” adunya.
Yah cerita lama, batinku.
“Dia juga selingkuh lho, Anggi. Aku harus gimana?” Anisa mulai menangis kembali.
Aku bingung mau menjawab apa. Selama dua tahun pernikahan mereka, per tiga bulan sekali aku akan mendapati kejadian yang sama terulang, seperti sebuah deja vu. Perkaranya pun selalu sama, yaitu Bagas tidak pulang ke rumah dan selingkuh. Aku saja merasakan kelelahan yang luar biasa ketika mendengarkan curhatan Annisa, apalagi Anisa sendiri yang mengalaminya. Huh … coba ya, kalau sudahlah wajah nggak menjanjikan, duit pas-pasan, otak minimalis , mbok mikir kalau mau aneh-aneh. Sok kecakepan!
Aku menepuk pundak Annisa. “Kamu yakin masih mau bertahan dalam situasi rumah tangga yang seperti ini? Ini udah nggak sehat, Nisa. Toxic. Rumah tangga kamu banyak red flag-nya“ Aku mencoba menggoyahkan pertahanan Annisa. “Coba kamu pikir, nih. Selama dua tahun ini yang selalu mengalah kalau ada masalah, kamu. Nah, yang susah payah membesarkan bisnis, ya kamu juga. Bagas tuh ngapain? Dia tuh nggak ada kontribusinya dalam kehidupanmu.”
Anisa mulai merenung ketika aku membeberkan fakta tentang keberadaan Bagas di dalam hidupnya.
“Ngasih duit belanja, ala kadarnya juga, kan? Itu pun harus diminta dulu. Coba deh sekali ini kamu mikir panjang. Kesampingkan dulu rasa cinta buta kamu itu ke Bagas. Iya, kamu cinta sama dia. Lah dia? Kalau cinta nggak akan bikin kamu nangis!” omelku panjang lebar.
Annisa terdiam setelah mendengarkan kalimat demi kalimat dariku yang cukup pedas di telinganya. Mungkin dia baru bisa berpikir jernih setelah aku mengeluarkan kata-kata sadis tentang suaminya.
“Kamu bisa ngomong gitu kan karena kamu belum nikah,” Annisa menyudutkanku.
“Nisa, nggak harus merasakan dulu untuk tahu bahwa sebuah hubungan itu nggak bagus. Berarti kalau mau tahu sedihnya jadi dhuafa, aku harus meninggalkan rumahku dulu? Mau tahu rasanya sakit karena dipukul orang, aku harus merelakan diriku untuk dipukul? Nggak gitu, Nis.” Aku memberikan pengertian untuknya. “Well, aku tahu pasti berat buat kamu. Kamu pasti malu kalau mengakhiri hubungan ini karena takut dicap salah pilih pasangan ataupun kamu takut dibilang janda. Tapi mau sampai kapan kamu kena mental terus seperti ini? Lagipula, jelas-jelas Bagas tukang selingkuh! Kamu juga punya bukti chat si Bagas sama cewek yang jadi selingkuhannya. Apa lagi yang mau kamu harapkan?” Sekali ini aku bertutur sambil merangkul pundaknya.
“Anggi, aku mungkin belum bisa jadi istri yang baik buat Bagas, jadi Bagas cari yang lain.” Ia kembali tergugu, sementara aku semakin gemas.
Gemas karena ingin mereparasi otak sahabatku agar bisa berpikir dengan baik dan benar. “Kamu bisa-bisanya mikir kayak gitu. Merasa kalau kamu yang salah!” aku menepuk keningku. “Kalau kamu belum jadi istri yang baik di matanya sekalipun, bukan berarti dia boleh selingkuh. Dia kan imam dalam rumah tangga. Ibaratnya nahkoda, kalau kapal oleng, ya … diatasi. Bukan malah ditenggelamkan,” aku kembali meluapkan kekesalanku. Andai Bagas di depanku saat ini, sudah kupastikan ia jadi perkedel.
“Jadi aku harus bagaimana? Aku takut bilang ke Mama dan Papa.” Ia menunggu jawabanku sambil menghapus sisa sisa airmatanya.
Aku menghela napas panjang. “Kamu pisah aja sekalian sama Bagas. Gugat dia di pengadilan. Jangan nunggu sampai kamu gila baru minta pisah,” aku menyarankan apa yang harus dilakukan Annisa. “Tapi sebaiknya, kamu obrolin dulu sama Mama Papa. Jadi kamu juga punya alternatif rencana sesuai yang sudah kalian rembukkan. Nggak ada orang tua yang rela anaknya teraniaya secara lahir dan batin,” aku menguatkannya.
Annisa mengangguk, pertanda ia menyetujui semua arahanku.
“Janji ya ke aku, kalau ini terakhir kalinya kamu dibikin gundah gulana nggak karuan sama si Bagas.” Aku menunjukkan kelingkingku, lalu Annisa mengaitkan kelingkingya ke kelingkingku.
“Janji,” ikrarnya mantap.
Aku pun tersenyum lega, kupeluk ia erat. “Kamu berharga, Annisa. Jangan biarkan orang lain merampasnya,” bisikku.
Dan sekali lagi, ia mengangguk.
Seminggu berlalu dari peristiwa sedih yang dialami Annisa. Ia mengabariku kalau orang tuanya menyetujui keputusannya untuk menggugat cerai Bagas, karena sudah hampir sebulan tidak pulang ke rumah. Aku bisa ikut merasakan kekesalan orang tua Annisa demi mendengar anaknya disia-siakan oleh Bagas. Iya, Bagas! Laki-laki yang biasa-biasa saja tapi kelakuannya mengalahkan Ardi Bakri, Christian Sugiono, Chiko Jericho dan sederet pria-pria lainnya yang sudahlah kaya, ganteng, setia pula.
Aku sedang berada di kafe bersama teman-teman kantorku, ketika mataku melihat sosok Annisa berjalan mesra dengan seorang pria, dan itu adalah BAGAS! Seketika emosiku memuncak ke ubun-ubun. Tak ayal lagi aku meraih ponselku dan langsung menghubungi nomor Annisa.
Anisa mendapatkan panggilanku di ponselnya. Ia lalu meninggalkan Bagas yang sedang duduk membuka menu kafe.
“Assalamualaikum,” sapa Annisa dengan ceria.
“Waalaikumsalam,” balasku sewot. “Annisa, bukannya kamu sudah janji mau gugat Bagas ke pengadilan?” semburku.
“I … iya sih, Anggi,” ia terbata menjawab pertanyaaku.
“Terus? Kenapa sekarang kamu malah berduaan dengan Bagas dan mesra pula?” ocehku, dan Annisa terkejut lalu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan untuk menemukanku.
“Eh … ehm, kamu juga di kafe ini?” tanyanya takut-takut.
“Nggak, aku lagi Kebun Raya Bogor!” selorohku asal, karena emosiku masih memuncak. “Jawab dulu pertanyaanku tadi. Kenapa kamu malah berduan sama si pria biasa-biasa aja itu?” aku mengulangi pertanyaanku ke Annisa.
“Aku … aku nggak bisa hidup tanpa Bagas, Nggi. Hidupku hampa tanpa dia. Aku akan lebih trauma lagi kalau aku nggak hidup sama dia. Aku bisa gila, Anggi,” jawabnya sambil menahan tangis.
“Oke … oke! Tiga bulan lagi, kalau masalah ini terulang, jangan cari aku! Kamu cari aja teman yang lain!” aku mengultimatum Annisa. Kemudian, tanpa mengucap salam aku langsung mematikan ponselku.
Setelah itu, aku kembali menikmati hidangan bersama teman-temanku. Namun pikiranku tertuju pada Annisa. Annisa yang cantik, tenar, dan cerdas, dikalahkan oleh perasaan cinta. Ia rela disakiti berkali-kali untuk kembali menjalin kasih dengan Bagas. Aku menarik napas yang bersatu dengan sisa kekesalanku saat ini.
Mau aku jelaskan dan beri pengertian sebanyak apa pun, itu tidak akan mengubah pendirian Annisa untuk tetap bertahan. Sudahlah, aku berujar dalam hati. Mungkin memang hanya waktu yang dapat menjawab bagaimana akhir kisah mereka, dan hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Satu kata yang terlintas di benakku untuk tingkah polah Anisa; Bucin. Virus yang membuat penderitanya jadi tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang modus.